Selasa, November 14, 2017

Supervisi Klinis


Supervisi Klinis
Said Suhil Achmad
Materi Kuliah

A. PENGANTAR

Di dalam materi sebelumnya disebutkan bahwa Supervisi Klinis adalah satu diantara 4 model supervisi, yaitu bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus yang sistematik, dalam perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif  dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata, serta benujuan mengadakan perubahan dengan cara yang rasional.   Bagaimana hakekat supervisi klinis? Maka dalam kegiatan  ini akan diuraikan tentang 1. Pengajaran mikro (mickro teaching); 2. Supervisi Klinis (Clinical Supervision);3. Tahap/Prosedur Supervisi Klinis; 4. Keterampilan dasar mengajar.

Diharapkan setelah membaca dan melihat demontrasi dari materi ini mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan pengertian pengajaran mikro (mickro teaching);
2. Menjelaskan pengertian supervisi Klinis (Clinical Supervision);
3. Menjelaskan proses supervisi klinis dalam pengajaran;
5. Mensimulasikan supervisi klinis sesuai dengan prosedur; dan
6. Menjelaskan cara melatih komponen Keterampilan dasar mengajar.

  Cara belajar dalam mata kuliah ini adalah dengan menggunakan model semi Jigsaw. Setiap kelompok harus menjadi ahli dalam setiap kegiatan pembelajaran, kelompok lain (kelompok imbas), salah seorang anggotanya diutus untuk  mendalami materi dari kelompok ahli, demikian sebaliknya. Anggota utusan akan memberikan pengetahuannya kepada teman di kelompoknya. Selanjutnya dilakukan diskusi kelompok terhadap semua materi, dimana anggota kelompok ahli akan menjadi penyaji, dan kelompok imbas akan menjadi penanya. Semua anggota kelompok ahli harus memberikan jawaban bergiliran atas pertanyaan dari anggota lain. Ketua kelompok ahli menjadi ketua kelompok diskusi dan moderator. Materi pelajaran setiap kelompok diringkas  dalam bentuk Powerpoint, dan menjadi materi sajian .


B. URAIAN

1. Pengajaran mikro (mickro teaching)

Menurut Bapadal (2003) supervisi klinis pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan olehh Morris L Logan. Robert Goldha,,er, dan Richart Weller di Universitas Harvard pada akhir dasawarsa lima puluhan dan awal dasawarna enam puluhan. Supervisi klinis adalah proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal. Hal sangat mendukung PP 22 Tahun 2006, tentang Standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, yang mengaruskan guru taat asas terhadap isi mata pelalajaran yang diajarkannya. Pengajaran Mikro (Mickro Teaching) dan Supervisi Klinis (Clinical Supervision), adalah dua istilah setali dua uang, karena supervisi klinis berada di dalam konteks pengajaran mikro (microteaching) itu sendiri. Menurut Bolla (1982) pengalaman lapangan yang berjenjang adalah untuk dapat menguasai perangkat keterampilan keguruan yang utuh, perlu diadakan kesempatan untuk berlatih menggunakan secara utuh pula di dalam konteks lapangan yang aktual, dengan bimbingan yang sistematis yang dikenai sebagai supervisi klinis, yaitu bimbingan yang diberikan atas dasar kebutuhan aktual yang disadari calon guru, bukan semata-mata atas dasar kelebihtahuan pembimbing.

Pendapat ini mensyahkan supervisi klinis diilhami oleh praktek mikro teaching (untuk calon guru)-- yang menurut Bapadal (2003) selanjutnya supervisi klinis dipakai pula untuk satu diantara model supervisi pengajaran di sekolah melalui kegiatan KKG dan MPGMP, seperti yang tertuang dalam Permendiknas No 16 Tahun 2007) tentang Standar Kualifikasi Akademik dan kompetensi guru dalam proses pengembangan profesionalisme guru diarahkan untuk penguatan kompetensi guru berdasarkan standar kompetensi guru, (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Cara pengembangan profesi dapat dilakukan melalui (antara lain): forum MGMP, seminar/workshop, penerbitan majalah ilmiah, lesson study, pelatihan dan studi lanjut. Ini berarti pembahasan ini mengacu pada dua konteks supervisi klinis, yaitu supervisi klinis dalam konteks supervisi mikro yang sasarannya calon guru dan dosen pembimbing sebagai supervisor dan supervisi klinis dalam konteks pembinaan guru di sekolah, yang supervisornya adalah kepala sekolah dan pengawas.

Selanjutnya Bolla mengatakan bahawa aliran pengajaran mikro (microteaching) secara teknis bertolak dan asumsi bahwa keterampilan-keterampilan mengajar yang kompleks itu dapat dipreteli menjadi unsur-unsur keterampilan yang lebih kecil, yang masing-masing dapat dilatihkan secara jauh lebih efisien dan efektil, apabila dibandingkan dengan pendekatan latihan secara global saja, dengan melalui pengajaran mikro, pembentukan keterampilan dapat dilakukan secara sistimatik mulai dari pemahaman, observasi peragaannya, untuk kemudian diteruskan dengan latihan yang berjenjang yaitu latihan terbatas, latihan dengan bantuan teman sejawat (peer-teaching) dan latihan lapangan.

Latihan lapangan inipun juga bersifat berjenjang, mulai dari mengajar dengan pengawasan penuh, sampai dengan mengajar secara mandiri. Di dalam kegiatan pengalaman lapangan barulah para calon guru diberi kesempatan berimprovisasi dengan menggunakan perangkat keterampilan dasar yang mulai dikuasainya, analog dengan seniman yang berimpropisasi setelah ia akrab dengan media ekspresinya.

Pada prinsipnya pembentukan keterampilan keguruan telah dianggap tuntas pada para calon guru tidak diulang lagi, karena penerapan keterampilan-keterampilan yang dimaksud di dalam sesualu peristiwa belajar mengajar membutuhkan pengintegrasian yang unik di dalam perancangan, dan penyesuaian-penyesuaian yang transaksional di dalam pelaksanaannva. Dengan perkataan lain bahwa latihan-latihan pengajaran mikro yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perangkat keterampilan mengajar yang utuh adalah hanya penjumlahan dari pada unsur-unsurnya, tapi hubungan dapat digambarkan seperti hubungan gerbong kereta api.

Apa yang dilakukan oleh seorang dokter senior terhadap calon dokter? Apa yang dilakukan oleh seorang pelatih tinju terhadap anak latihanya? Ya, dokter senior selalu membawa calonya ketika ia sedang melakukan praktek real, setelah beberapa kali melihat, maka calon diminta melakukan sendiri. Kalau pelatih tinju akan membawa anak asuhannya untuk sparing patner dengan beberapa orang agar memiliki banyak pengalaman, dimana setiap lawan (patner) akan memberikan pengalaman yang berbeda dalam suatu keterampilan yang sama.

Bagaimana melatih orang naik sepeda? Biasanya, pertama pelatih dan pelajar akan menaiki sepeda secara bersama-sama, setelah beberapa kali latihan, maka pelatih secara beransur akan dibiarkan pelajar berjalan sendiri dengan pengawasan yang ketat, lama kelamaan akan dibiarkan pelajar itu jatuh bangun lalu menganalisis sendiri data didiamati oleh pelatih dan sampai akhirnya semua keterampilan menaiki sepeda akan terlatih secara secara sempurna. Illustrasi diatas sangat berguna proses pengajaran mikro.

Mengapa harus ada pengajaran Mikro (Mickro Teaching). Apakah pekerjaan ini serumit menjadi seorang dokter, seberat menjadi petinju, atau semudah mengedara sepeda? Apa jawaban yang dapat diberikan. Saya ingin mengajak mengingat pengalaman orang menonton di bioskop setelah film usai, pertama: mereka selalu mengintergrasikan diri dengan peran/tokoh utama dari cerita, dan kedua bisa menceritakan kembali apa yang dilihatnya, ketiga bisa membuat intisari dan ke empat bisa menemukan tema cerita. Tapi, apakah seorang calon guru bisa seperti itu. Kalau bisa, berarti sebuah pelatihan sudah berhasil? atau sebaliknya.

Karena itu apakah pembimbing di FKIP atau pamong di sekolah atau kepala sekolah dan pengawas sudah dapat menjadi aktor atau tokoh sejati di dalam kelas, sehingga calon atau guru dapat mengikuti jejaknya dalam mengajar? Hal inilah yang harus dilatih baik bagi pembimbing, pamong dan kepala sekolah dan pengawas. Karena mickro teaching adalah sebuah proses yang dilakukan di lembaga penghasil guru, sebelum seseorang calon guru mengalami real teaching (makro teaching) di lapangan dalam kegiatan Pengalaman Praktek Lapangan (PPL). Dalam mikro teaching calon guru dipersiapkan secara teoritik dalam kelompoknya atau yang disebut dengan peer teaching, yaitu bersama teman-temannya yang juga belum berpengalaman dibawah asuhan atau bimbingan dosen yang telah memiliki kompetensi – dan telah mendapat pengakuan melalui kegiatan Akta IV.

Mikro teaching, di FKIP Univesitas Riau menjadi tanggung jawab setiap jurusan. Kegiatan ini mereka namakan dengan uji tampil. Setelah mereka lulus, baru boleh mengikuti PPL, yaitu praktek di sekolah-sekolah yang mereka minati dan mau menampung mereka selama 6 bulan (satu semester) atau 8 kali pertemuan. Bagaimanakah pelaksanaan mikro teaching secara teoritis? Hal itulah yang ingin dibicarakan.  Microteaching ini tiada lain suatu kegiatan latihan belajar mengajar dalam situasi laboratoris. Dalam kegiatan ini mahasiswa/siswa calon guru selama berlatih praktik mengajar, bentuk penampilan dan keterampilannya selalu dimonitor dan dalam keadaan terkontrol oleh para supervisor. Dengan demikian, proses tersebut dapat diatur menurut kebutuhan serta disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Semua ini dalam ukuran mikro atau mini. Oleh karena itu, microteaching sering diartikan sebagai "mengajar dalam bentuk yang mini"(Sardiman, 2006).

Sardiman (2006) menjelaskan bahwa microteaching sesungguhnya juga merupakan real teaching bagi calon guru tetapi dilatihkan dalam kelas laboratori bukan di depan real class room, sehingga kegiatan itu bukan lagi real class room teaching. Jadi microteaching dilakukan di dalam kelas laboratori, dalam wujudnya yang mikro dan dimaksudkan untuk melatih, membekali serta memperbaiki keterampilan mahasiswa/ siswa calon guru. Hal ini dilatihkan sebelum calon guru ini terjun ke dalam praktik mengajar dalam arti real class room teaching. Microteaching memiliki ciri-ciri pokokyakni: jumlah subjek belajar sedikit, berkisar 5-10 orang, waktu mengajar terbatas sekitar 10 menit, bahan yang dikontakkan terbatas, juga komponen mengajar yang dikembangkan terbatas. Dengan demikian, kalau dibandingkan antara microteaching dengan teaching.

Dengan demikian, dalam microteaching benar-benar serba mikro. Satu kelebihan microteaching itu dilengkapi dengan alat-alat laboratori (hardware) yang dapat mendeteksi kegiatan praktikan yang kemudian akan memberikan feed back atau umpan balik secaca objektif sehingga segera dapat melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan dan penguatan terhadap yang sudah baik. Dengan microteaching akan memberikan kepercayaan diri yang tinggi pada calon guru untuk menghadapi praktik mengajar (real teacing) yang sebenarnya di sekolah-sekolah di mana mereka ditempatkan. Di FKIP Universitas Riau, penempatan mahasiswa dalam praktik mengajar diatur oleh Unit Pelayanan Teknis (UPT) Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah di sekolah di dalam kota yang memberi izin mahasiswa prakyik dan bentuk yang kedua adalah sekolah di luar kota yang ditentukan oleh mahasiswa dan mendapat persetujuan sekolah. Pelaksanaan di dalam kota diatur berdasarkan bidang studi dan jumlah mahasiswa maksimal 20 orang, sedangkan sekolah di luar kota bidang studi, jumlah mahasiswa dan pembiayaannya diatur tersendiri oleh mahasiswa dan dosen pembimbing.

2. Supervisi Klinis (Clinical Supervision)

Menurut pendapat para ahli, ide supervisi klinis berasal dari praktek kedoktoran – hubungan antara dokter dengan pasien. Pasien diminta menyampaikan keluhannnya dan seterusnya terjadilah teransaksi pengobatan. Menurut Gunawan (1986), setelah keluhan disampaikan, pasien tidak pula menyampaikan jenis penyakit yang dideritainya, dan tidak pula menentukan jenis pengobahan dan obat yang harus diberikan oleh dokter kepadanya, sementara dokter sendiri tidak semerta-merta menybutkan penyakitnya kepada pasien, tapi pengobatan akan diberikan dokter setelah mendapat izin dari pasein dan disertai perjanjian berikutnya.

Bapedal (2004) membuat intisasi bahwa, supervisi klinis sebagai satu bentuk aplikasi praktis supervisi pengajaran, yang merupakan satu strategi yang sangat berguna dalam supervisi, sebagai pengembangan pengajaran guru. Supervisi klinis diperkenalkan dan dikembangkan oleh Morris L. Cogan, Robert Goidhammer, dan Richart Weller di Universitas Harvard. Pada mulanya supervisi klinis ini memang dirancang sebagai salah satu model atau pendekatan dalam melaksanakan supervisi pengajaran terhadap calon guru yang sedang berpraktik mengajar. Selanjutnya, digunakan sebagai satu model supervisi pengajaran.

Richard Willer (dalam Bolla, 1982) memberikan batasan supervisi klinis sebagai layayan yang memfokuskan pada perbaikan pengajaran dengan menjalankan siklus yang sistimatis sari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan pengajar sebenarnya dengan tujuan untuk modifikasi yang rasional.

Dalam melaksanakan supervisi klinis diperlukan iklim kerja yang baik. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan supervisi klinis adalah kepercayaan guru bahwa tugas supervisor semata-mata untuk membantu guru mengembangkan pengajarannya. Upaya memperoleh kepercayaan dan guru memerlukan satu iklim kerja yang disebut dengan istilah kolegial. Di samping itu, untuk melaksanakan supervisi klinis diperlukan kesediaan supervisor dan guru untuk meluangkan waktu. Setiap pembinaan supervisi klinis akan memerlukan waktu relatif lama.

Bolla (1982) dalam bukunya menyebutkan bahwa supervisi klinis adalah:

a. bantuan yang diberikan kepada guru dalam memperbaiki dan meningkatkan keterampilan mengajarnya dan dapat dilaksanakan untuk kepentingan calon guru dalam pendidikan pra jabatan maupun dalam jabatan;
b. Supervisi klinis terdiri atas tahapan pendahuluan (pre conference), observasi mengajar dan pertemuan balikan;
c. Pendekatan yang dilakukan bersifat profesioanal dan humanistik;
d. Selain menguji kemampuan siswa juga menguji kemampuan pembimbing;
e. Harus dilakukan oleh lembaga yang kompeten. Bagaimanakan real kegiatan supervisi klinis dan prangkatnya? Akan dibicarakan tersendiri.

Karakteristik supervisi klinis diberikan oleh Bafadal (2004) sebagai berikut:

a. Supervisi klinis berlangsung dalam bentuk hubungan tatap muka antara supervisor dan guru.
b. Tujuan supervisi klinis adalah untuk pengembangan profesional guru;
c. Kegiatan supervisi klinis ditekankan pada aspek-aspek yang menjadi perhatian guru serta observasi kegiatan pengajaran di kelas;
d. Observasi harus dilakukan secara cermat dan mendetail;
e. Analisis terhadap hasil observasi harus dilakukan bersama antara supervisor dan guru, serta
f. Hubungan antara supervisor dan guru harus bersifat kolegial bukan otoritarian.

Proses supervisi klinis, perilaku supervisor terbentang dalam garis kontinum, yang meliputi:
  i. mendengarkan,
  ii. mengklarifikasi,
  iii. mendorong,
  iv. mempresentasikan,
  v. memecah masalah,
  vi. bernegosiasi,
  vii. mendemontrasikan,
  viii. memastikan,
  ix. standardiasi, dan
  x. menguatkan.

Supervisi klinis merupakan suatu proses, yang terdiri atas sejumlah tahapan yang berbentuk siklus. Banyak teoretisi memberikan deskripsi yang berbeda mengenai siklus supervisi klinis, namun secara umun langkah-langkah ini bisa disederhanakan menjadi tiga tahap. Bapedal(2004) menyebutkan ada bahwa tiga tahap atau aktivitas itu adalah:(1) tahap perencanaan (tahap pertemuan awal); (2) tahap observasi mengajar, dan (3) tahap evaluasi dan analisis (pertemuan balikan).

3. Tahap Supervisi Klinis

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa ada tiga tahap dalam proses supervisi klinis, yaitu: (1) tahap perencanaan (tahap pertemuan awal); (2) tahap observasi mengajar, dan (3) tahap evaluasi dan analisis (pertemuan balikan). Berikut uraian masing-masing bagian yang dikutip dari Bolla (1982).

a. Tahap pertemuan pendahuluan

Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama membicarakun rencana tentang keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat. Tahap ini memberikan kesempatan kepada guru dan supervisor untuk mengidentifikasi perhatian utama guru kemudian menterjemahkannya ke dalam bentuk tingkahaku yang dapat diamati.
Dibicarakan juga bentuk dan jenis data mengajar yang akan diobservasi dan dicatat selama pelajaran berlangsung. Suatu komunikasi yang efektif dan terbuka diperlukan dalam tahap ini guna mengikat supervisor dan guru sebagai partner diantara suasana kerja yang harmonis.

b. Tahap Pengamatan Mengajar

Pada tahap ini guru melatih tingkahlaku mengajar berdasarkan komponen keterampilan dasar mengajar yang telah disepakati dalam pertemuan pendahuluan. Dipihak lain supervisor mengamati dan mencatat atau merekam tingkah laku guru ketika mengajar, berdasarkan komponen keterampilan yang diminta oleh guru untuk direkam. Supervisor dapat juga mengadakan observasi dan mencatat tingkah laku siswa di kelas serta interaksi antara guru dan siswa.

c. Tahap pertemuan balikan

Sebelum pertemuan balikan dilaksanakan diharapkan supervisor mengadakan analisis pendahuluan tentang rekaman observasi ynng dibuat sebagai bahan dalam pembicaraan tahap ini. Dalam hal ini supervisor harus mengusahakan suatu data yang obyektif, menganalisis dan menginterpretasikan secara kooperatif bersama dengan guru tentang apa yang telah berlangsung dalam mengajar. Langkah langkah utama dalam tahap ini adalah:
a. Menanyakan perasaan guru secara umum atau kesan umum guru ketika ia mengajar serta memberi penguatan;
b. Mereviu tujuan pelajaran;
c. Mereviu target keterampilan serta perhatian utama guru;
d. Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pelajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya;
e. Menunjukkan serta mengkaji bersama guru hasil observsi (rekaman data) yang telah dibuat;
f. Menanyakan peraaaan guru setelah melihat rekaman data tersebut;
g. Menyimpulkan hasil dengan melihat apa yang sebenarnya merupakan keinginan atau target guru dan apa yang sebenarnya telah terjadi atau tercapai; dan
h. Menuntukan bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu dilatih atau di memperhatikan pada kesempatan berikutnya.

4. Komponen Keterampilan Dasar Mengajar

Proses belajar mengajar di kelas bukan suatu yang sederhana,tetapi sangat kompleks. Banyak sekali faktor yang menentukan keberhasilan seseorang guru di depan kelas. Para ahli mengingatkan bahwa mengajar bukan seperti orang memasukkan uang ke bank. (Sehertian, 1994). Reimer (1987) mengutip Marchall Mcluhan mengatakan soalnya bukan apa yang anda lakukan, tetap bagaimana melakukannya. Berarti mengajar bukan masalah tujuan tercapai tetapi bagaimana proses mencapai tujuan itu. Karena mutu proses jauh lebih penting dari pencapaian tujuan, sebab tujuan bisa saja dicapai oleh guru dengan berbagai cara atau jalan pintas, namun apakah pengalaman belajar itu sudah sampai kepada siswa dan dapat bertahan lama dan dapat digunakannya untuk belajar lebih lanjut Karena itu Willes (1967) menekankan bahwa “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik, yang jelas sasaranya adalah proses.

Karena itu proses belajar mengajar di kelas memerlukan pengusaan keterampilan dasar kuat untuk mendukung seorang calon guru menjadi guru yang memiliki kepercayaan yang tinggi di muka kelas. Djamarah (2000) menyebutkan bahwa ada delapan keterampilan dasar mengajar, yaitu 1) Keterampilan memberi penguatan, 2) Keterampilan bertanya, 3) Keterampilan variasi, 4) Keterampilan menjelaskan, 5) membuka dan menutup pelajaran, 6) Keterampilan mengelola kelas, 7) Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil,dan 8) Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. Pembahasan tentang bagian ini dikutip dari uraian Imran, Ali (1995) dan Udin S. Winataputra. (2003).


4.1 Keterampilan Memberi Penguatan

Penguatan diberikan sebagai respon yang diberikan guru terhadap perilaku siswa yang baik, sehingga siswa terdorong untuk mengulangi atau meningkatkan perilaku yang lebih baik lagi. Penguatan diberikan dengan tujuan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, mengontrol dan memotivasi perilaku yang negatif, menumbuhkan rasa percaya diri, serta memelihara iklim kelas yang kondusif. Penguatan dapat dibagi menjadi penguatan verbal dan non-verbal. Penguatan verbal diberikan dalam bentuk kata-kata/kalimat pujian, sentuhan, kegiatan yang menyenangkan, serta benda atau simbol. Penguatan dapat juga diberikan dalam bentuk penguatan tak penuh, jika respon/perilaku siswa tidak sepenuhnya memenuhi harapan. Dalam memberikan penguatan harus diperhatikan prinsip-prinsip berikut.

a. Kehangatan dan keantusiasan,
b. Kebermaknaan,
c. Hindari respon negatif,
d. Penguatan harus bervariasi,
e. Sasaran penguatan harus jelas, dan
f. Penguatan harus diberikan segera setelah perilaku yang diharapkan muncul.

4.2 Keterampilan Bertanya
Bertanya ternyata tidak mudah, apalagi dikaitkan dengan fungsi guru di muka kelas. Karena bertanya bukan sebatas membuatnya tetapi menyangkut bagaimana ia dapat dijawab dengan tepat dan benar. karena itu guru perlu menguasai keterampilan bertanya dengan alasan:
a. guru cenderung mendominasi kelas dengan ceramah,
b. siswa belum terbiasa mengajukan pertanyaan,
c. siswa harus dilibatkan secara mental-intelektual secara maksimal, dan
d. adanya anggapan bahwa pertanyaan hanya berfungsi untuk menguji pemahaman siswa.
e.

Keterampilan bertanya sangat erat kaitan dengan pendekatan pembelajaran sebagai proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang bagaimana terjadinya suatu proses pembelajaran itu yang akan memperlihatkan siapa yang mendominasi kelas. Pendekatan pembelajaran terdapat dua jenis yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Pendekatan yang mana yang dipilih sangat berpengaruh terhadap keterampilan guru bertanya kepada siswa agar muncul pertanyaan yang baik sehingga berfungsi antara lain untuk:

a. mendorong siswa untuk berpikir,
b. meningkatkan keterlibatan siswa,
c. merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaan,
d. mendiagnosis kelemahan siswa,
e. memusatkan perhatian siswa pada satu masalah, dan
f. membantu siswa mengungkapkan pendapat dengan bahasa yang baik.
g.
Keterampilan bertanya dasar terdiri atas komponen-komponen:
a. pengajuan pertanyaan secara jelas dan singkat,
b. pemberian acuan,
c. pemusatan,
d. pemindahan giliran,penyebaran,
e. pemberian waktu berpikir, dan
f. pemberian tuntunan.

Keterampilan bertanya lanjut terdiri dari komponen:

a. pengubahan tuntutan kognitif dalam menjawab pertanyaan,
b. pengaturan urutan pertanyaan,
c. penggunaan pertanyaan pelacak, dan
d. peningkatan terjadinya interaksi.

Keterampilan bertanya lanjut terdiri atas komponen:
a. pengubahan tuntutan kognitif dalam menjawab pertanyaan,
b. pengaturan urutan pertanyaan,
c. penggunaan pertanyaan pelacak, dan
d. penigkatan terjadinya interaksi.
e.
Dalam menerapkan keterampilan bertanya dasar dan lanjut, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

a. Kehangatan dan keantusiasan.
b. Menghindari kebiasaan mengulang pertanyaan sendiri, menjawab pertanyaan sendiri, mengajukan pertanyaan yang mengundang jawaban serempak, mengulangi jawaban siswa, mengajukan pertanyaan ganda, dan menunjuk siswa sebelum mengajukan pertanyaan
c. Waktu berpikir yang diberikan untuk pertanyaan tingkat lanjut lebih banyak dari yang diberikan untuk pertanyaan tingkat dasar
d. Susulah pertanyaan pokok dan nilai pertanyaan tersebut sesudah selesai mengajar.

4.3 Keterampilan Mengadakan Variasi

Variasi adalah keanekaan yang membuat sesuatu tidak monoton. Variasi di dalam kegiatan pembelajaran dapat menghilangkan kebosanan, meningkatkan minat dan keingintahuan siswa, melayani gaya belajar siswa yang beragam, serta meningkatkan kadar keaktifan siswa.

Komponen keterampilan mengadakan variasi dibagi menjadi 3 kelompok sebagai berikut.
a. Variasi dalam gaya mengajar yang meliputi variasi suara, pemusatan perhatian, kesenyapan, pergantian posisi guru, kontak pandang serta gerakan badan dan mimik.
b. Variasi pola interaksi dan kegiatan.
c. Variasi penggunaan alat bantu pengajaran yang meliputi alat/bahan yang dapat didengar, diihat, dan dimanipulasi.


Dalam mengadakan variasi, guru perlu mengingat prinsip-prinsip penggunaannya yang meliputi: kesesuaian, kewajaran, kelancaran dan kesinambungan, serta perencanaan bagi alat/bahan yang mmerlukan penataan kh usus.

4.4 Keterampilan Menjelaskan Variasi
Keterampilan menjelaskan sangat penting bagi guru karena sebagian besar percakapan guru yang mempunyai pengaruh terhadap pemahaman siswa adalah berupa penjelasan. Penguasaan keterampilan menjelaskan yang didemonstrasikan guru akan memungkinkan siswa memiliki pemahaman yang mantap tentang masalah yang dijelaskan, serta meningkatnya keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Komponen keterampilan menjelaskan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Merencanakan materi penjelasan yang mencakup:
i. menganalisis masalah,
ii. menentukan hubungan, serta
iii. menggunakan hukum, rumus, dan generalisasi yang sesuai.
b. Menyajikan penjelasan, yang mencakup:
i. kejelasan, yaitu keterampilan yang erat kaitannya dengan penggunaan bahasa lisan,
ii. penggunaan contoh dan ilustrasi, yang bisa dilakukan dengan pola induktif atau deduktif,
iii. pemberian tekanan yang dapat dilakukan dengan berbagai variasi gaya mengajar, dan membuat struktur sajian, dan
iv. balikan, yang bertujuan untuk mendapat informasi tentang tingkat pemahaman siswa, baik melalui pertanyaan mapun melalui tugas.

Penjelasan dapat diberikan pada awal, tengah, dan akhir pelajaran, dengan selalu memperhatikan karakteristik siswa yang diberi penjelasan serta materi/ masalah yang dijelaskan.

4.5 Keterampilan Membuka dan Menutup Pembelajaran

Keterampilan membuka pelajaran adalah jenis keterampilan yang awal yang harus dikuasai oleh guru, oleh karena keterampilan membuka pelajaran pertama kali diterapkan oleh guru pada awal pelajaran akan memberikan kesan tersendiri oleh siswa. Keterampilan membuka pelajaran dimaksudkan mengkondisikan siswa agar siap mental sebelum pelajaran berlangsung. Tidak itu saja, keterampilan membuka pelajaran dimaksudkan juga untuk menimbulkan perhatian dan memusatkan perhatian siswa terhadap hal-hal yang dipelajarinya. siswa yang siap mental memasuki pelajaran, adalah siswa yang telah mengetahui tujuan pengajaran dengan jelas, mengetahui masalah-masalah yang harus diperhatikan dan mengetahui langkah-langkah serta batas-batas tugas yang harus dikerjakan.

Adapun empat komponen keterampilan membuka pelajaran, yaitu:

a. Menarik perhatian siswa. Perhatian siswa pertama-tama harus ditimbulkan, karena dengan memperhatikan terlebih dahulu terhadap hal-hal yang akan diajarkan, adalah suatu permulaan yang baik bagi suatu pengajaran. Ada banyak cara yang dapat ditempuh oleh guru dalam menarik perhatikan siswa ini, yaitu: melalui gaya mengajar, menggunakan alat-alat bantu mengajar yang bervariasi atau dengan pola interaksi
b. Menimbulkan motivasi. Mengapa motivasi ini perlu ditim bulkan? Karena hasil belajar siswa antara lain ditentukan oleh seberapa besar motivasinya. Ada banyak cara yang dapat dipergunakan guna menimbulkan motivasi ini. Cara- cara tersebut antara lain adalah: adanya kehangatan dan keantusiasan mengajar, menimbulkan rasa ingin tahu siswa, mengemukakan ide-ide kontroversial, mengajukan masalah yang bertentangan dengan keadaan sehari-hari dan memperhatikan serta berusaha memenuhi minat siswa.

c. Memberikan acuan. Yang dimaksudkan dengan memberikan acuan adalah suatu usaha menemukakan secara spesifik dan singkat agar siswa mendapatkan gambaran serba singkat tetapi jelas mengenai sesuatu hal yang akan dipelajari.

d. Membuat kaitan. Ketika guru akan membuka pelajaran, guru terlebih dahulu menghubungkan sesuatu yang akan disajikan dengan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa pada masa-masa sebelumnya. Mengapa kaitan ini perlu dibuat tak lain adalah sesuatu yang akan dipelajari tidak dipandang terputus dengan bahasan-bahasan sebelumnya. Pemahaman siswa atas pengetahuan sebelumnya (prasyarat) bahkan juga akan membantu siswa terhadap upaya pemahaman terhadap materi berikutnya.

Sementara itu, keterampilan menutup pelajaran dimaksudkan agar siswa mendapatkan kembali materi-materi pokok atau rangkuman dari keseluruhan yang sudah disajikan.
Beberapa komponen keterampilan menutup pelajaran adalah sebagai berikut:
a. Meninjau kembali. Meninjau kembali atas kegiatan-kegiatan pengajaran yang telah dilakukan dan materi-materi pelajaran yang telah diberikan sangat besar artinya bagi pemahaman menyeluruh siswa atas apa yang mereka dapatkan. Peninjauan kembali dapat dilakukan dengan cara: menyampaikan pokok-pokok pikiran, merangkum inti bahasan dan atau membuat ringkasan.
b. Mengevaluasi. Evaluasi lazim dilakukan setelah kegiatan belajar mengajar berakhir, atau hendak ditutup. Evaluasi dilakukan dengan maksud agar mengetahui seberapa tujuan pengajaran yang dirumuskan telah tercapai. Evaluasi dapat dilakukan secara lisan, dan dapat dilakukan secara tertulis. Evaluasi dapat dilakukan dengan menuntut siswa mendemonstrasikan sesuatu yang telah diperoleh, mengaplikasikan perolehannya dalam situasi riil, atau mengemukakan pendapat dengan menggunakan kata-kata sendiri.

4.6 Keterampilan Mengelola Kelas

Pengelolaan kelas adalah bagaimana penciptaan suatu siatusi dan kondisi yang memungkinkan belajar siswa menjadi optimal. Keterampilan mengelola kelas patut dikuasai guru, karena hanya dengan pengelolaan kelas yang baiklah akan tercipta suatu kondisi yang memungkinkan siswa belajar dengan baik. Ada dua jenis keterampilanpengelolaan kelas. Pertama, keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan kondisi belajar yang optimal, dan kedua, keterampilan yang berhubungan dengan pengembalian kondisi belajar yang optimal.

4.6.1 Penciptaan Kondisi Belajar Optimal

Keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan kondisi belajar yang optimal meliputi hal-hal sebagai berikut:
i. Menunjukkan sikap tanggap. Tanggap terhadap berbagai hal yang terjadi di dalam kelas, terutama terhadap perilaku siswa bisa menjadikan siswa terkondisi belajarnya. Misalnya saja, terhadap siswa yang memperhatikan, terhadap siswa yang tidak memperhatikan, terhadap siswa yang acuh tak acuh dan terhadap siswa yang mengerjakan atau tidak mengerjakan tugas, guru harus tahu dan senantiasamenanggapi mereka. Responsi guru yang tanggap terhadap berbagai persoalan dalam bentuk teguran, dalam bentuk pengharapan sangat penting bagi penciptaan kondisi belajar yang optimal.

ii. Membagi perhatian. Perhatian guru, baik yang berupa verbal maupun yang berupa visual, haruslah dapat diberikan kepada siswa secara merata. Jangan sampai ada siswa yang terlalu banyak diperhatikan sementara yang lain merasa kurang perhatian. Kecemburuan siswa atas perhatian guru yang tak seimbang dapat mengganggu penciptaan kondisi belajar yang optimal.

iii. Memusatkan perhatian kelompok. Perhatian hendaknya tidak sekadar diberikan kepada siswa secara individual.Bila pengajaran di kelas menggunakan kelompok-kelompok kecil, maka perhatianpun harus diberikan kepada kelompok juga. Oleh karena itu, siswa dapat dituntut bertanggung jawab secara individual kepada kelompoknya, dan secara kelompok mereka dapat diminta mempertanggungjawabkan pekerjaan atau tugasnya.

iv. Memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas. Petunjuk yang diberikan oleh guru terhadap siswa amat penting bagi siswa. Oleh karena itu, dalam memberikan petunjuk hendaknya sejelas mungkin meskipun singkat. Bahasa yang dipergunakan hendaknya yang dapat dicerna oleh siswa. Aspek-aspek yang menjadi substansi petunjuk gurudapat meliputi: aspek-aspek pengajaran, suatu kegiatan tertentu atau tingkah laku tertentu

v. Menegur. Teguran harus diberikan oleh guru manakala ada di antara siswa yang mengganggu kelas, kelompok atau individu siswa. Hendaknya teguran diberikan secara hati- hati, karena penggunaan kata-kata kasar dan menyakitkan bertentangan dengan misi pendidikan.Teguran hendaknya hariya diberikan kepada siswa yang bersalah, yang mengganggu, dan jangan sampai tertuju kepada mereka yang tidak berbuat salah dan tidak turut mengganggu. Meskipun demikian, teguran hendaknya mempunyai dampak positip juga kepada siswa-siswa lainnya.

vi. Memberikan penguatan. Penguatan dapat juga berfungsi sebagai pencipta kondisi belajar siswa secara optimal, mana kala dapat diberikan secara tepat. Pada siswa-siswa yang mengganggu, dapat diganjar dalam bentuk, misalnya saja ditangkap dan kemudian ditunjukkan kepada teman- temannya se kelas. Demikian juga siswa yang misalkan saja, berprestasi baik, dapat ditangkap dan ditunjukkan kepada kelas sebagai sebuah keteladanan.

4.6.2. Pengembalian Kondisi Belajar Optimal
Keterampilan mengelola kelas yang berhubungan dengan pengembalian kondisi agar siswa belajar secara optimal meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Memodifikasi perilaku siswa. Perilaku menyimpang dan atau bermasalah siswa dapat dimodifikasi ke arah yang baik manakala guru mau menganalisisnya terlebih dahulu. Jangan sampai tidak tahu latar belakang terjadinya penyipangan, guru langsung mengubahnya. Oleh karena itu, sebelum mengubah tingkah laku demikian, guru harus menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
i. Merinci secara tepat tingkah laku yang menimbulkan masalah atau tingkah laku menyimpang siswa.
ii. Menentukan norma dan standar yang realistik terhadaptingkah laku yang menjadi tujuan pendidikan.
iii. Bekerja sama dengan rekan sekerja, orang tua dan konselor guna mencatat perilaku-perilaku bermasalah atau menyimpang siswa.
iv. Memilih perilaku yang akan diperbaiki setelah mempertimbangkan bahwa tingkah laku tersebut memang dapat diperbaiki.
v. Mempergunakan berbagai macam cara guna mengubah perilaku siswa
vi. Memberikan penguatan terhadap perilaku yang diinginkan.
b. Pengelolaan kelompok. Guna memecahkan masalah-masalah pengelolaan kelas, guru dapat mempergunakan pendekatan pemecahan masalah kelompok. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru dalam pengelolaan kelompok adalah sebagai berikut:
i. Memperlancar tugas dengan mengusahakan kerja sama
ii. Menetapkan standar dan mengkoordinasikan prosedur kerja.
iii. Memperbaikikondisidalamsistem dengan menggunakan pemecahan masalah melalui diskusi.
iv. Menganalisis dan mempergunakan saran-saran siswa.
v. Mengubah kelas ke arah yang lebih baik dan menyenangkan.
vi. Memelihara kegiatan-kegiatan kelompok dengan cara:memelihara dan mengembalikan semangat siswa,memahami konflik yang timbul dan meminimalkan masalah-masalah pengelolaan.

c. Menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah. Masalah beserta gejala masalah yang muncul di kelas hendaknya diupayakan dapat ditemukan oleh guru. Selanjutnya, masalah tersebut hendaknya dapat dipecahkan. Setelah terpecahkan, guru harus berusaha agar tidak lagi muncul masalah baru di dalam kelas, baik sebagai akibat dari pemecahan masalah sebelumnya atau bukan akibat masalah sebelumnya (masalah baru).

4.7 Keterampilan Membimbing Diskusi Kelompok Kecil

Diskusi adalah suatu percakapan atau pembicaraan antara dua orang atau lebih. Diskusi kelompok kecil adalah suatu percakapan atau pembicaraan yang berlangsung dalam kelompok kecil: 5-9 orang. Pembicaraan dan atau percakapan tersebut dengan menggunakan interaksi secara bebas dan langsung, dengan tujuan tertentu yang jelas dan berlangsung secara teratur, sistematis dan menghasilkan suatu kesimpulan tertentu. Ada beberapa komponen keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.

Komponen-komponen tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Memusatkan perhatian
b. Memperjelas masalah atau urunan pendapat
c. Menganalisis pandangan siswa
d. Meningkatkan kontribusi pikiran siswa
e. Menyebarkan kesempatan berpartisipasi
f. Menutup diskusi.

a. Memusatkan Perhatian
Ketika diskusi sedang berlangsung, banyak pembicaraan yang dikemukakan oleh masing-masing peserta. Ada kalanya mereka yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, mengemuka-kan pendapat yang berbeda-beda dan dengan uraian-uraian yang kadangkala panjang. Jika ini dibiarkan terus, siswa yang menjadi peserta diskusi, adakalanya tidak dapat menggenera-lisasi pendapat-pendapat, ide-ide dan gagasan-gagasan yang banyak ragamnya. Tidak jarang siswa juga mengalami kesulitan dalam menangkap ide pokoknya, sehingga ia justru mengambil ide tambahannya.

Agar perhatian siswa terpusat, maka sebelum diskusi dimulai, hendaknya dirumuskan dahulu target yang hendak dicapai. Selanjutnya, diperkenalkan topik atau tema diskusi baik dengan menggunakan kalimat pernyataan maupun dengan kalimat tanya. Dengan mengemukakan tujuan dan topik atau tema, maka peserta diskusi dapat mengarahkan keseluruhan pembicaraan dalam kerangka tema atau topik tersebut.

Dalam pembicaraan, tidak jarang peserta diskusi mengemukakan sesuatu yang menyimpang dari topik. Jika hal demikian terjadi, maka topik, tema dan masalah yang akan dibicarakan dalam diskusi dapat dinyatakan kembali. Menyatakan kembali masalah, topik dan tema demikian, dapat menggiring kembali pembicaraan peserta diskusi agar tidak mengalami penyimpangan.

Dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan demikian, perlu diperhatikan berbagai hal yang menjadikan penyebab terjadinya penyimpangan. Selanjutnya, harus dibuat rangkuman hasil diskusi pada suatu tahapan tertentu, sebelum dilanjutkan dengan pembicaraan yang lain. Rangkuman hasil diskusi ini harus dibuat, agar tidak terlupakan setelah peserta diskusi sudah beralih ke masalah, topik atau tema lainnya. Dengan adanya rangkuman demikian, peserta diskusi sekaligus tahu seberapa target yang ditentukan telah tercapai.

b. Memperjelas Masalah atau Urunan Pendapat
Seringkali peserta diskusi memunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu gagasan yang diajukan oleh seorang peserta lainnya. Hal demikian disebabkan oleh tidak atau kurang jelasnya statemen-statemen yang dipergunakan oleh peserta yang mengajukan gagasan tersebut. Oleh karena itu, terhadap gagasan, masalah dan atau pikiran-pikiran yang kurang jelas demikian ini, pemimpin diskusi hendaknya memperjelasnya. Hanya dengan cara demikianlah maka peserta diskusi dapat menangkap pembicaraan persis sebagaimana yang dikehendaki oleh penyampai gagasan.
Memperjelas masalah atau urunan pendapat peserta diskusi dapat dilakukan dengan: menguraikan kembali gagasan penyimpan ide, mepertanyakan kepada peserta diskusi lain apakah mereka sudah mengerti apa yang dimaksudkan, meminta komentar anggota diskusi dengan mengajukan pertanyaan yang membantu memperjelas ide dan menguraikan gagasan siswa dengan memberikan informasi tambahan atau contoh kongkret.

c. Menganalisis Pandangan Siswa
Dalam diskusi, tidak jarang antara siswa satu dengan siswa yang lain mempunyai pandangan yang berbeda-beda, meskipun masalah yang didiskusikan mungkin sama. Hal demikian tidak perlu dirisaukan oleh guru, oleh karena perbedaan pendapat di antara siswa adalah suatu keniscayaan.

Yang patut diperhatikan oleh siswa yang lain dan oleh guru adalah: Mengapa perbedaan pendapat demikian dapat terjadi? Apakah alasan-alasan yang dikemukakan oleh siswa tersebut mempunyai dasar yang kuat? Apakah dalam mengemukakan pendapat tersebut, siswa mendasarkan pada referensi tertentu? Apakah alasan-alasan yang dikemukakan memang rasional? Pada hal apa saja pendapat tersebut dapat disepakati dan pada hal apa saja tidak dapat disepakati? Di sinilah guru perlu menganalisis.

d. Meningkatkan Kontribusi Pikiran Siswa
Dalam diskusi kelompok kecil, para siswa dapat secara bebas menyampaikan, menyumbangkan atau memberikan kontribusi pikiran kepada kelompoknya. Hanya saja, tidak selalu setiap anggota kelompok mau menyumbangkan pikiran-pikirannya kepada kelompok. Tidak jarang, seorang anggota kelompok diam saja sejak awal diskusi sampai dengan akhir diskusi. Oleh karena itulah peranan pemimpin diskusi dan atau guru dalam diskusi kelompok kecil demikian ini sangat penting artinya. Guru dapat mengaktifkan seluruh anggota diskusi agar mereka secara merata dapat memberikan kontribusi pikiran ketika diskusi sedang berlangsung.

Kontribusi pikiran siswa dapat ditingkatkan dalam interaksi diskusi dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:

i. Mengajukan pertanyaan yang dapat merangsang para siswa untuk berpikir.
ii. Menghidupkan suasana diskusi.
iii. Memberi kesempatan kepada para siswa untuk memikirkan jawaban yang akan diajukan sebelum yang bersangkutan benar-benar siap memberikan jawaban.
iv. Mengukuhkan kontribusi pikiran siswa dengan jalan memperhatikan, memberi penguat positif, serta mendukung terhadap pikiran-pikiran siswa yang benar.
v. Memancing siswa yang diam saja agar mau berbicara.


e Memeratakan Kesempatan Berpartisipasi

Sebagaimana disebutkan di atas, tidak jarang diskusi hanya dimonopoli oleh siswa-siswa tertentu yang suka berbicara. Dalam hal demikian, guru atau pemimpin diskusi harus dapat mengkondisikan agar siswa yang tidak suka berbicara mau dan bersedia berbicara.

Beberapa cara yang dapat ditempuh oleh guru adalah sebagai berikut:
i. Mencegah searif mungkin terhadap siswa yang suka memonopoli pembicaraan.
ii. Memberikan kesempatan kepada siswa yang tidak mau berbicara untuk menyampaikan pendapatnya sendiri, mengomentari pendapat temannya, mengecek terhadap berbagai hal yang ada dalam buku teks dan meminta untuk menyampaikan kepada kelompok atau kelas.
iii. Menggilir pembicaraan siswa sehingga tidak berbicara bersamaan.
iv. Memberikan re.sponsi penguat kepada siswa yang tak suka berbicara tetapikelihatan menyampaikan urunan pikirannya.


F. Menutup Diskusi
Mengapa diskusi perlu ditutup? Tak lain agar siswa tahu bahwa diskusi memang sudah selesai. Sebagai pertanda bahwa diskusi tersebut selesai adalah telah dicapainya target diskusi. Target diskusi tersebut berupa kesimpulan yang sesuai dengan tujuan diskusi.
Oleh karena itu, diskusi kelompok kecil mi dapat ditutup dengan: membuat rangkuman, ringkasan, menemukan kata-kata kunci, mengajak siswa menilai proses dan hasil diskusi dan sebagainya.

4.8 Keterampilan Mengajar Perorangan

Keterampilan mengajar perseorangan adalah suatu keterampilan guru dalam mengajar terhadap siswa satu demi satu. Oleh karena siswa diajar satu demi satu, maka siswa yang cepat dapat menyelesaikan pelajarannya dengan cepat dan sebaliknya siswa yang lambat, akan menyelesaikan pelajarannya secara lambat juga. Dengan perkataan lain, siswa dapat berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya.

Pengajaran perorangan memang berangkat dari kebutuhan dan bermaksud melayani segi individualitas siswa. Hal ini berarti kebalikan dari pengajaran sistem klasikal, yang lebih mengaksentuasikan pada segi-segi kesamaan siswa. Pengajaran klasikal bermaksud melayani kesamaan-kesamaan yang dipunyai oleh siswa, dan tidak banyak menyentuh segi individual! tasnya.

Ada 5 komponen keterampilan pengajaran perseorangan, yaitu:
i. Keterampilan merencanakan pengajaran.
ii. Keterampilan melaksanakan pengajaran.
iii. Keterampilan mengorganisasi pengajaran.
iv. Keterampilan melaksanakan hubungan pribadi.
v. Keterampilan membimbing siswa.

a. Keterampilan Merencanakan Pengajaran
Sebuah pengajaran (termasuk pengajaran perseorangan) yang tanpa direncanakan terlebih dahulu, akan membawa guru pada keadaan cerita apa saja sesuai dengan apa yang kebetulan berada di kepalanya. Seandainya di kepalanya sedang lewat hantu, maka hantu itulah yang menjadi cerita pengajaran. Seandainya yang lewat di kepala guru tersebut adalah setan, maka setan itulah yang menjadi inti cerita pengajaran. Dus, pengajaran demikian, tidak mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Oleh karena itu, perencanaan pengajaran amat penting artinya dalam rangka mencapai tujuan pengajaran.

Pada saat guru membuat perencanaan pengajaran perorangan, ia harus tahu karakteristik siswa yang akan diajar. Karakteristik siswa tersebut meliputi: karakteristik psikologisnya, karakteristik kognitifnya, karakteristik pribadinya yang lain dan sebagainya. Singkatnya, apa yang telah ada pada diri siswa dapat dijadikan sebagai landasan berpijak dalam rangka penyusunan rencana pengajaran.
Keterampilan merencanakan pengajaran perorangan meliputi hal-hal sebagai berikut:
i. Menetapkan tujuan pengajaran perorangan.
ii. Menetapkan alat evaluasi pengajaran perorangan yang akan dipergunakan.
iii. Menetapkan kegiatan belajar mengajar.
iv. Menetapkan metode yang dipergunakan.

b. Keterampilan Melaksanakan Pengajaran

Rencana pengajaran yang telah ditetapkan haruslah diaplikasikan oleh guru secara luwes, dengan mem-pertimbangkan faktor kondisional dan situasional siswa. Dalam melaksanakan pengajaran ini, guru melaksanakan berbagai macam jenis kegiatan yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan.
Strategi dan siasat belajar mengajar yang memungkinkan siswa dapat menampilkan performansi sebagaimana yang dikehendaki haruslah dapat dilakukan. Metode yang dipergunakan hendaknya cocok juga dengan target yang hendak dicapai dalam pengajaran,

c. Keterampilan Mengorganisasi Pengajaran
Pengorganisasian pengajaran dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam orientasi. Ada pengorganisasian pengajaran yang menggunakan buku teks, dan ada pengorganisasian pengajaran yang menggunakan paket-paket belajar seperti modul, hand out dan sebagainya. Pengorganisasian pengajaran dilakukan sejak awal pengajaran sampai akhir pengajaran.

Beberapa keterampilan mengorganisasikan pengajaran adalah sebagai berikut:
i. Memperkenalkan tujuan umum pengajaran, tujuan khususpengajaran, kegiatan-kegiatan pengajaran yang akan dilakukan, tugas yang akan dikerjakan, masalah yang akan dipecahkan kepada siswa pada awal pelajaran.
ii. Membagi-bagi peran, baik antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa.
iii. Mengkoordinasikan peran-peran yang telah dibagi, sehingga menjadi satu kesatuan utuh yang memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pengajaran.
iv. Mengakhiri kegiatan pengajaran, dengan suatu target tertentu, sehingga terdapat perubahan tingkahlaku pada diri siswa.

d. Keterampilan Melaksanakan Hubungan Pribadi
Dalam pengajaran perorangan, interaksi antara guru dengan siswa sangat tinggi; berbeda denganpengajaran klasikal. Dengan demikian, tingkat keakraban antara guru dengan siswa juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengajaran klasikal. Di sinilah keefektifan dan atau kelebihan pengajaran individual ini dibandingkan dengan pengajaran klasikal. Oleh karena itu, guru harus dapat membangun keakraban dengan siswa dengan berbagai macam cara, antara lain sebagai berikut:
i. Berusaha saling terbuka, sebagai langkah awal bagi saling percaya.
ii. Mendengarkan segala pembicaraan siswa dengan penuh perhatian.
iii. Menunjukkan kepada siswa bahwa ia bersedia membantu secara tulus terhadap apa yang dibutuhkan oleh siswa
iv. Memberikan jaminan kepada siswa, bahwa segala hal yang ia ceritakan kepada guru, ridak akan berpengaruh pada kapasitas pribadinya sebagai seorang siswa.

e. Keterampilan Membimbing Siswa

Selain sebagai pengajar, guru sekaligus sebagai pembimbing. Lebih-lebih dalam pengajaran perorangan, peran sebagai pembimbing sangat menonjol pada diri guru. Dengan bimbingan yang terus menerus demikian, diharapkan siswa terus-menerus dapat diajak untuk lebih maju. Bimbingan terus-menerus demikian sangat diperlukan terutama pada hal-hal yang oleh siswa dipandang sulit. Rasa frustasi, sebagai akibat dari tidak mudahnya mencapai sesuatu, sedikit banyak dapat ditekan.
Guna keberhasilan bimbingan secara perorangan ini, guru harus paham dengan karakteristik dan tempramen siswa. Hanya dengan cara demikian, ia dapat mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan kepelbagaian siswa. Haruslah disadari, bahwa rumus yang dipakai untuk membimbing siswa yang satu, tidak dapat begitu saja dipandang cocok untuk siswa yang lain. Masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa sendiri, pada dasarnya juga berbeda dengan yang dihadapi oleh orang lain.

C. RANGKUMAN
1. Supervisi klinis pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan olehh Morris L Logan. Robert Goldha,,er, dan Richart Weller di Universitas Harvard pada akhir dasawarsa lima puluhan dan awal dasawarna enam puluhan.
2. Supervisi klinis adalah proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal dan taat asas terhadap isi mata pelalajaran yang diajarkannya.
3. Pengajaran Mikro (Mickro Teaching) dan Supervisi Klinis (Clinical Supervision), adalah dua istilah setali dua uang, karena supervisi klinis berada di dalam konteks pengajaran mikro (microteaching) itu sendiri.
4. Aliran pengajaran mikro (microteaching) secara teknis bertolak dan asumsi bahwa keterampilan-keterampilan mengajar yang kompleks itu dapat dipreteli menjadi unsur-unsur keterampilan yang lebih kecil,
5. Melalui pengajaran mikro, pembentukan keterampilan dapat dilakukan secara sistimatik mulai dari pemahaman, observasi peragaannya, untuk kemudian diteruskan dengan latihan yang berjenjang yaitu latihan terbatas, latihan dengan bantuan teman sejawat (peer-teaching) dan latihan lapangan.
6. Pada prinsipnya pembentukan keterampilan keguruan telah dianggap tuntas pada para calon guru tidak diulang lagi, karena penerapan keterampilan-keterampilan yang dimaksud di dalam sesualu peristiwa belajar mengajar membutuhkan pengintegrasian yang unik di dalam perancangan, dan penyesuaian-penyesuaian yang transaksional di dalam pelaksanaannva.
7 Guru memang harus menjadi aktor atau tokoh sejati di dalam kelas, agar siswanya menjadi penonton yang dapat menyerap semua pengalaman atau pesan (materi pelajaran) yang disampaikan.
8. Mickro teaching adalah suatu proses yang dilakukan di lembaga penghasil guru, sebelum seseorang calon guru mengalami real teaching (makro teaching) di lapangan dalam kegiatan Pengalaman Praktek Lapangan (PPL).
9. Dalam mikro teaching calon guru dipersiapkan secara teoritik dalam kelompoknya atau yang disebut dengan peer teaching, yaitu bersama teman-temannya yang juga belum berpengalaman dibawah asuhan atau bimbingan dosen yang telah memiliki kompetensi – yang telah mendapat pengakuan melalui kegiatan Akta IV.
10. Microteaching ini tiada lain suatu kegiatan latihan belajar mengajar dalam situasi laboratoris. Dalam kegiatan ini mahasiswa/siswa calon guru selama berlatih praktik mengajar, bentuk penampilan dan keterampilannya selalu dimonitor dan dalam keadaan terkontrol oleh para supervisor.
11. Microteaching memiliki ciri-ciri pokokyakni: jumlah subjek belajar sedikit, berkisar 5-10 orang, waktu mengajar terbatas sekitar 10 menit, bahan yang dikontakkan terbatas, juga komponen mengajar yang dikembangkan terbatas. Dengan demikian, kalau dibandingkan antara microteaching dengan teaching.
12. Supervisi Klinis (Clinical Supervision) berasal dari praktek kedoktoran, antara dokter dengan pasien. Di mana pasien diminta menyampaikan keluhannnya.
13. Supervisi klinis sebagai satu bentuk aplikasi praktis supervisi pengajaran, yang merupakan satu strategi yang sangat berguna dalam supervisi, sebagai pengembangan pengajaran guru.
14. Supervisi klinis yang memfokuskan pada perbaikan pengajaran dengan menjalankan siklus yang sistimatis sari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan pengajar sebenarnya dengan tujuan untuk modifikasi yang rasional.
15. Supervisi klinis merupakan suatu proses, yang terdiri dan sejumlah tahapan yang berbentuk siklus yaitu:(1) tahap perencanaan (tahap pertemuan awal); (2) tahap observasi mengajar, dan (3) tahap evaluasi dan analisis (pertemuan balikan).
16. Prosedur supervisi klinis ada tiga tahap atau aktivitas dalam proses supervisi klinis, yaitu: (1) tahap perencanaan (tahap pertemuan awal); (2) tahap observasi mengajar, dan (3) tahap evaluasi dan analisis (pertemuan balikan).
17. Komponen keterampilan dasar mengajar ada delapan keterampilan dasar mengajar, yaitu 1) Keterampilan memberi penguatan, 2) Keterampilan bertanya, 3) Keterampilan variasi, 4) Keterampilan menjelaskan, 5) membuka dan menutup pelajaran, 6) Keterampilan mengelola kelas, 7) Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, dan 8) Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan.

D. TUGAS

Simulasi supervisi klinis dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membentuk kelompok dengan anggota antara 5 dan 10 orang;
2. Tetapkan peranan masing-masing anggota; yaitu sebagai guru, siswa dan supervisor;
3. Tetapkan mata pelajaran, dan gunakan RPP;
4. Buatlah kontrak kerja supervisi klinis dengan format yang baku;
4.1  Tahap pertemuan pendahuluan,
4.2 Tahap pengamatani,gunakan IPG2 dan,
4.3 Tahap pertemuan balikan (tidak lanjut);

DAFTAR PUSTAKA

Alexander Mackie College of Advance Education (1981). Supervision Of Practice Teaching, Primary, Sydney, Australia
Ahmad, Said Suhil. (2003). Model Pelatihan Profesional Guru, Makalah disampaikan pada Rapat Lintas Sektoral Bidang Pendidikan, 4 Januari 2003 di Pekanbaru
Bapadal, Ibrahim. (2003). Peningkatan Prifesionalisme Guru Sekolah Dasar. JakartaL Bumi Aksara.
Bolla. J.I. (1982). Supervisi Klinis. Jakarta: Depdiknas.
Darmansyah. (2007). Menciptakan Pembelajaran yang Mengenangkan Melalui Optimalisasi Jeda Stategis dengan Karikatur Hunor dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Teknodik Pustekkom.go.id
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. 2001. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Penerbit KAIFA.
Dryden, Gordon dan Jeanette Vos. 1999. The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns. Selandia Baru: The Learning Web.
Gunawan, Ary. (1996). Administrasi Sekolah|: Administgrasi Pendidikan Makro. Jakarta: Reneka Cipta
Hamalik, Oemar. (1975). Praktek Keguruan. Bandung Tarsito.
Imran, Ali. (1995). Pembinaan Guru Indonesia. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Paterson Kathy. (2007). 55 Teaching Problemas. (Terjemahan Frans Kiworo). Jakarta, Grasindo.
Reimer, Everett. (1987). Sekitar ektensi Sekolah. Terjemahan Sarino Mangunpranoto. Yokyakarta: PT. Manindita
Rifai, Mohd. (1982). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Jemmars.
Sidi, Indra Djati. (2001). Menuju Masyakarat Belajar. Jakarta: Paramadia.
Sadiman. (2006). Interaksi dan Motivasi Belajat Mengajar. Jakarta: TP. Rajawali Grafiondo Persada
Supriadi, Dedi. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Edisi kedua. Yokyakarta: Mitra Gama Widyaa.
Undang-Undang RI Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru,
Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan.
Wiles. Kimball.(1956). Supervision for Better School. New Jersey. Printice Hall inc, Engdewood Ciffs.
Udin S. Winataputra. (2003). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar