Selasa, November 14, 2017

Sejarah dan Ruang Lingkup Supervisi Pendidikan

Sejarah dan Ruang Lingkup Supervisi Pendidikan
Said Suhil Achmad
Materi Kuliah

A. PENGANTAR

Dalam Undang-Undang Profesi Guru dan Dosen dikatakan bahwa  pengawas adalah guru yang diangkat dalam jabatan pengawas, yang merupakan karir fungsional yang terhormat dan tertinggi karena kedudukannya sebagai pembina kegiatan guru dan sekolah pada umumnya. Begitu pentingnya kedudukan pengawas, maka sebagai calon guru dan calom kepala sekolah perlu diperkenalkan lebih awal tentang hakekat supervisi yang akan menjadi pekerjaan mereka kelak. Maka dalam kegiatan 3 ini secara berturut akan dibahas, materi (1) Pengertian supervisi pendidikan;, (2) Ruang lingkup supervisi pendidikan; (3) sejarah singkat supervisi pendidikan; , dan (4) Latar belakang pentingnya supervisi pendidikan.

Setelah mahasiswa mempelajari bagian ini diharapkan mahasiswa dapat:
1. Menyebutkan pengertian supervisi pendidikan;
2. Menjelaskan ruang lingkup supervisi pendidikan;
3. Menceritakan sejarah singkat supervisi pendidikan;
4. Menyebutkan latar belakang pentingnya supervisi pendidikan.

 
Cara belajar dalam mata kuliah ini adalah dengan menggunakan model semi Jigsaw. Setiap kelompok harus menjadi ahli dalam setiap kegiatan pembelajaran, kelompok lain (kelompok imbas), salah seorang anggotanya diutus untuk  mendalami materi dari kelompok ahli, demikian sebaliknya. Anggota utusan akan memberikan pengetahuannya kepada teman di kelompoknya. Selanjutnya dilakukan diskusi kelompok terhadap semua materi, dimana anggota kelompok ahli akan menjadi penyaji, dan kelompok imbas akan menjadi penanya. Semua anggota kelompok ahli harus memberikan jawaban bergiliran atas pertanyaan dari anggota lain. Ketua kelompok ahli menjadi ketua kelompok diskusi dan moderator. Materi pelajaran setiap kelompok diringkas  dalam bentuk Powerpoint, dan menjadi materi sajian.


B. URAIAN
1. Pengertian Supervisi Pendidikan

Pengawas adalah sebutan yang diberikan untuk kekerjaan supervisi, di mana  jabatan ini sudah dikenal lama dalam dunia pendidikan, namun maknanya sangat tergantung dengan perjalanan sejarah dunia pendidikan itu sendiri. Dalam ilmu administrasi, terutama administrasi pendidikan kedudukan manusia sangat menentukan, karena itu diperlukan supervisi sebagai suatu "pendekatan" yang paling tepat terhadap manusia yang melaksanakan kegiatan administrasi. Alasannya, karena manusia bukanlah mesin atau robot yang tugasnya hanya setakat menjalankan instruksi, atau program, tetapi juga makhluk yang "bernyawa", yang sama sekali berbeda dengan "makhluk" lain, ia punya perasaan, punya keterbatasan, baik secara fisik maupun psikhis, yang ikut menentukan "warna awal dan akhir sebuah pekerjaan".

Berdasarkan pemikiran di atas maka manusia dalam administrasi dan manajemen tidak hanya dipandang sebagai subjek tetapi juga objek. Atau dengan kata lain, selain sebagai pelaku juga penerima perlakuan. Sekaligus hal ini memberikan perbedaan antara administrasi pendidikan dan administrasi perusahaan yang objeknya lebih dominan barang atau benda mati, sedangkan manusia bukan hanya sekedar bernyawa, tapi mahkluk yang paling canggih yang perlu perlakuan khusus, karena itu supervisi dapat dikatakan satu perlakuan khusus kepada manusia kerja.  Pentingnya "supervisi" dewasa ini didasari atas kecenderungan perlakukan yang kurang sehat terhadap guru sebagai manusia atau bentuk penyalahgunaan sumberdaya manunsia, atau lebih tepat pengurasan sumberdaya manusia. Artinya, guru terlalu diperlakukan sebagai objek bukan subjek. Misalnya, guru harus mengajar sesuai dengan target kurikulum, membuat satuan pelajaran, membuat lembaran kerja siswa, melaksanakan macam-macam tes dan mencatatnya, melaksanakan les, menjadi wali kelas, menjadi piket, sementara waktu yang tersedia hanya sedikit -- sampai mimpinya guru juga dalam kondisi mengajar.  Anehnya, apabila ada kelemahan kurikulum maka dianggap kelemahan guru, padahal guru tak ikut menyusun kurikulum. Guru tidak punya jalur untuk menyampaikan kelemahan kurikulum. Sebenarnya kepala sekolah yang dapat menampung semua itu, namun ia lebih banyak tergelam dengan urusan pengorganisaisian, sehingga guru seperti "ayam kehilangan induk." Banyak kepala sekolah lupa akan fungsinya sebagai supervisor, mereka lebih banyak berlagak seperti komandan perang ketimbang seorang pemimpin (leader).

Apalagi ada oknum kepala sekolah dan pejabat pendidikan yang "separoh hati" dalam membina guru. Di suatu pihak mereka menyuarakan pentingnya peningkatan mutu guru, tapi di lain pihak mereka menekannya. Misalnya, guru yang tugas belajar dipotong tunjangannya tanpa ada kovensasi; kalau ada tunjangan tambahan dicari-cari jalan memotongnya atau paling kurang memperlambat penyerahahnya. Malah ada guru yang ingin kuliah dengan biaya, tapi terpaksa dicari "peraturan yang bisa mengganjalnya". Yang menyedihkan kalau sampai pada urusan naik pangkat. Misalnya untuk memenuhi kredit harus melakukan macam-macam, tapi waktunya terbatas. Apalagi disuruh sekolah sambil mengajar. Di suatu pihak baik, tapi di lain pihak dapat mengurangi umur sehat guru.

Bukan hanya itu yang ditimpakah kepada guru, ada lagi misalnya kalau terjadi perkelahian pelajar dianggap kelalaian guru, padahal tidak terjadi di sekolah. Kalau siswa tidak naik kelas atau tidak lulus dianggap guru tak pandai mengajar, padahal sudah dari awal orang tua diberi tahu, tapi orang acuh. Atas dasar uraian di atas maka supervisi pendidikan harus diberikan kepada calon guru dimulai dari pengertian, ruang lingkup, sejarah, dan latar belakang pentingnya supervisi pendidikan. Mudah-mudahan dapat membantu mahasiswa menghubungkan materi yang sudah dipelarinnya di dalam Dasar-Dasar Administrasi Pendidikan dengan materi ini.

Istilah supervisi pendidikan dibangun dari dua kata: supervisi dan pendidikan. Dalam uraian-uraian berikut hanya istilah supervisi yang lebih banyak diberbicarakan dari pendidikan, karena istilah pendidikan (education) lebih lengkap telah dikupas habis dalam mata kuliah Dasar-Dasar Kependidikan. Supervisi adalah istilah yang relatif baru dikenal di dunia pendidikan di Indonesia (lihat sejarah supervisi), karena itu perlu uraian secara lengkap tentang pengertiannya, yang akan dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu dari sudut etimologis, morfologis, dan semantik.
Secara etimologis, kata supervisi berasal dari bahasa Inggris, yaitu supervision, artinya pengawasan (Echols, 1983: 569). Oteng (1983: 222) mengatakan bahwa penggunaan istilah supervisi sering diartikan sama dengan directing atau pengarahan. Sementara Suharsimi (1988: 152) mengatakan bahwa memang sejak dulu banyak orang menggunakan istilah pengawasan, penilikan atau pemeriksaan untuk istilah supervisi, demikian pula pada zaman  Belanda orang mengenal istilah inspeksi.Secara morfologis, kata supervisi terdiri atas dua kata, super dan visi (super dan vision). Menurut Ametembun (1981: 1) super berarti atas atau lebih, sedangkan visi berarti lihat, tilik, dan awasai. Jadi supervisi berarti melihat, menilik dan mengawasi dari atas; atau sekaligus menunjukan bahwa orang yang melaksanakan supervisi berada lebih tinggi dari orang yang dilihat, ditilik, dan diawasi. Secara semantik, para ahli memberikan berbagai corak definisi, tapi pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut (Wiles, 1955: 8) "Supervision is assistance in the development of a better teaching-learning situation" (supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi mengajar yang lebih baik. Neagley dalam Pidarte (1986: 2) menyebutkan bahwa supervisi adalah layanan kepada guru-guru di sekolah yang bertujuan untuk menghasilkan perbaikan instruksional, belajar, dan kurikulum.

Menurut Mc. Nerney (dalam Sahertian, 1982: 20) mengartikan  supervisi sebagai prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran.Sedangkan Poerwanto (1986: 84) menyatakan, supervisi adalah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.

Tugas pokok pengawas sekolah/satuan pendidikan adalah melakukan penilaian dan pembinaan dengan melaksanakan fungsi-fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi di atas minimal ada tiga kegiatan yang harus dilaksanakan pengawas yakni:

1. Melakukan pembinaan pengembangan kualitas sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan kinerja seluruh staf sekolah,
2. Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan program sekolah beserta pengembangannya,
3. Melakukan penilaian terhadap proses dan hasil program pengembangan sekolah secara kolaboratif dengan stakeholder sekolah.

Pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa istilah supervisi mengandung makna banyak, tapi mengandung makna yang sama, misalnya bantuan, pelayanan, memberikan arah, penilaian, pembinaan, meningkatkan, mengembangkan dan perbaikan. Dengan kata lain, istilah supervisi dipertentangkan dengan makna mengawasi, menindak, memeriksa, menghukum, mengadili, inspeksi, mengoreksi, dan menyalahkan. Dengan demikian istilah supervisi "tidak sama" dengan istilah controlling, inspection (inspeksi), dan directing (mengarahkan).

Perlu ditegaskan bahwa yang menjadi objek utama supervisi di sekolah adalah guru, walaupun semua orang di sekolah dikenai supervisi itu hanyalah objek perantara. Isyarat lain dari pendapat-pendapat di atas, adalah penting adanya administrasi yang baik dalam kegiatan supervisi, karena itu diperlukan suatu administrasi supervisi, terutama yang menyangkut fungsi utamanya, yaitu perencanaan, pengorganisian, penyelenggaraan dan pengawasan supervisi itu sendiri.

2. Ruang Lingkup Supervisi Pendidikan

Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa materi supervisi pendidikan telah mulai diperkenalkan mata kuliah Dasar-Dasar Administrasi Pendidikan, yang menunjukkan bahwa materi supervisi tidak terlepas dari Administrasi Pendidikan pada umumnya. Rifai (1982: 124)  mengatakan, bahwa di mana ada administrasi harus ada supervisi, dan jika ada supervisi tentu ada suatu yang dilaksanakan, ada administrasi sesuatu.

Dengan demikian, kedudukan supervisi pendidikan sama pentingnya dengan administrasi pendidikan, namun secara hirarkis supervisi merupakan salah satu fase atau tahap dari administrasi. Thomas H Briggs dalam Rifai (1982: 225) menegaskan, bahwa supervisi merupakan bagian atau aspek dari administrasi. Khususnya yang mengenai usaha peningkatan guru sampai kepada taraf penampilan tertentu.

Sarwoto (1985: 104) menjelaskan bahwa secara teoritis yang menjadi objek supervisi ada dua aspek, yaitu:
A. Aspek manusianya, seperti sikap terhadap tugas, disiplin kerja, moral kerja, kejujuran, ketaatan terhadap peraturan organisasi, kerajinan, kecakapan kerja, kemampuan dalam bekerja sama, watak;
B. Aspek kegiatannya, seperti cara bekerja kerja (cara mengajar), metoda pendekatan terhadap siswa, efisiensi kerja, dan hasil kerja.
Pendapat Sarwoto ini secara jelas membedakan apa yang menjadi objek pengawasan (controlling) dan supervisi (supervision).

FUNGSI ADMINISTRASI

1. Perencanaan (planning)
2. Pengorganisasian (organizing)
3. Penyelenggaraan (actuating)
4. Pengawasan (controlling)
                     
FUNGSI CONTROLLING:
                               
1. Inspeksi (inspection)
2. Supervisi (supervision)

SASARAN CONTROLLING:

1. Men (manusia)
2. Money (uang)
3. Material (materi/ bahan)
4. Method (metode/ kurikulum)
5, Mechine (mesin, peralatan)
6. Market (pasar)

SASARAN SUPERVISI:

1. Men (manusianya)
2. Activities (kegiatannya)
Uraian di atas menunjukkan bahwa antara supervisi dan controlling memang mempunyai hubungan yang erat, atau dapat dikatakan supervisi adalah bagian dari kegiatan controlling (pengawasan), sedangkan kegiatan supervisi lebih dititikberatkan pada aspek manusia. Selanjutnya Supandi (1986: 29) menegaskan, supervisi lebih banyak diartikan orang sebagai salah satu fungsi pengawasan pendidikan. Oteng (1983: 203) pula menyebutkan, bahwa controlling adalah fungsi administrasi dalam mana administrator memastikan bahwa apa yang dikerjakan sesuai dengan yang dikehendaki. Ia meliputi pemeriksaan apakah semua berjalan sesuai dengan rencana yang dibuat, instruksi-instruksi yang dikeluarkan, dan prinsip-prinsip yang ditetapkan. Dengan demikian ruang lingkup supervisi pendidikan terdiri atas dua bagian. Pertama, supervisi tidak langsung atau supervisi makro atau supervisi pengajaran. Kedua supervisi yang bersifat langsung atau supervisi mikro yang sekarang dikenal dengan supervisi klinis.

Supervisi makro adalah supervisi pengajaran, yang merupakan rangkaian kegiatan pengawasan pendidikan yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi-kondisi, baik personil maupun material yang memungkinkan terciptanya situasi belajar mengajar yang lebih baik demi tercapainya tujuan pendidikan (Poerwanto, 1986: 99). Harahap (1983: 8) merinci ruang lingkup  supervisi pendidikan sebagai berikut:

a. Supervisi dalam administrasi personalia untuk melihat apakah ada kartu pegawai, soal kenaikan pangkat, soal pembagian tugas dan lain-lain.
b. Supervisi dalam pemeliharaan gedung dan alat-alat seperti kursi, meja, ruang belajar, papan tulis dan lain-lain.
c. Supervisi dalam penyelenggaraan perpustakaan, yaitu soal kondisi buku, pelayanan, ketertiban, dan lain-lain.
d. Supervisi dalam administrasi keuangan, seperti ingin melihat apakah pengeluaran sesuai dengan aturan, ketepatan pembayaran gaji atau honor lainnya kepada pegawai dan guru.
e. Supervisi dalam pengelolaan kafetaria, yaitu soal kebersihan tempat dan makanan, serta soal ketertiban siswa yang jangan sampai menjadi tempat bermain, bolos dan merokok.
f. Supervisi dalam kegiatan ko kurikuler, apakah sampai mengganggu kegiatan belajar siswa, kesehatan, dan keamanan.

Supervisi klinis adalah supervisi yang pelaksanaannya dapat disamakan dengan "praktek kedokteran", yaitu hubungan antara supervisee dan supervisor ibarat hubungan antara pasien dengan dokter (uraian lengkap pada kegiatan tersendiri).
Suatu hal yang perlu ditegaskan, bahwa tidak semua orang yang membantu meningkatkan proses belajar mengajar dapat disebut supervisor. Misalnya PT. CALTEX memberikan bantu buku, alat pelajaran dan laboratorium sekolah, namun kegiatan dapat dikatakan supervisi, tapi ia bukanlah supervisor.


3. Sejarah Supervisi Pendidikan

3.1. Sejarah lahirnya Istilah Supervisi Pendidikan 

Seperti dikatakan di muka bahwa Supervisi adalah istilah yang dapat dikatakan baru dikenal di dunia pendidikan di Indonesia. Istilah ini muncul diperkirakan pada awal tahun 60-an, atau pada dua dasawarsa terakhir ini (Arikunto, 1988: 152). Diperkenalkannya istilah supervisi seiring dengan diberikannyanya mata kuliah administrasi pendidikan di beberapa IKIP di Indonesia, yang kemudian disusul pula dengan dijadikannya administrasi pendidikan sebagai mata pelajaran dan bahan ujian pada SGA/SPG pada tahun ajaran 1965-1966, jadi tidaklah mengherankan kalau ada dari kalangan pendidik sendiri masih ada asing dengan istilah ini, terutama bagi mereka yang menamatkan pendidikan guru, baik di tingkat menengah keguruan maupun pendidikan tinggi pada sebelum tahun 70-an.

Di Indonesia, sebenarnya aktivitas semacam supervisi sudah lama dikenal, tapi sayang sekali kesannya memang agak kurang enak, karena pelaksanaannya  yang lebih cenderung hanya untuk mencari kesalahan dan kekurangan guru dalam mengajar. Pada waktu itu aktivitas itu dikenal dengan istilah inspeksi, yang diwariskan oleh Belanda sewaktu menjajah Indonesia selama  lebih kurang 3,5 abad.

Pada zaman penjajahan Belanda, orang yang memeriksa sekolah dasar (SD) mereka sebut dengan "Schoolopziener", yaitu bertugas memeriksa seluruh mata pelajaran di sekolah dasar yang menggunakan pengantar bahasa Belanda, sedangkan mata pelajaran lain diperiksa oleh petugas yang mereka sebut inspektur, yang juga orang belanda sendiri.
Menurut Harahap (1983: 6) bahwa pada zaman penjajahan Jepang ada sebutan Shigaku, yaitu istilah yang dipakai tugas penilik sekolah dasar, tapi sayang sekali istilah ini tidak begitu lama melekat di kalangan pendidik Indonesia, yang mungkin dikarenakan Jepang tidak terlalu lama menjajah Indonesia, yaitu lebih kurang 2,5 tahun saja. Setelah Indonesia merdeka, istilah Inrspektur pernah dipakai untuk beberapa waktu, tetapi kemudian diubah dengan sebutan pengawas  untuk tingkat sekolah lanjutan dan penilik untuk sekolah dasar. Seiring dengan itu muncul pula sebutan baru, yaitu  supervisi, yang berasal dari bahasa Inggris, supervision, yang diperkenalkan oleh orang-orang yang pernah belajar di Amerika Serikat.

Menurut Soetopo (1984: 63), di Amerika Serikat aktivitas supervisi baru muncul pada permulaan zaman kolonial, yaitu pada sekitar tahun 1654. "The General Court of chusetts bay coloni" menyatakan bahwa pemuka-pemuka kota bertanggung jawab atas seleksi dan pengaturan kerja guru-guru, gerakan dapat danggap sebagai cikal bakal lahirnya konsep yang paling dasar untuk perkembangan supervisi moderen. Kemudian pada tahun 1709, di Boston, a comite of laymen mengunjungi sekolah-sekolah untuk mengetahui penggunaan metode pengajar oleh guru-guru, kecakapan siswa, dan merumuskan usaha-usaha memajukan pengajaran dan organisasi-organisasi sekolah yang baik.

Selanjutnya, perkembangan dan pertumbuhan sekolah dipengaruhi pula oleh bertambahnya jumlah penduduk, yang membuat dibutuhkanya tambahan tenaga guru yang lebih besar, yang ada di antara mereka yang dipilih menjadi kepala sekolah, tapi kepala sekolah pada waktu itu belum berfungsi sebagai supervisor. Namun pada perkembangan selanjutnya baru, terutama setelah bertambahnya aktivitas sekolah, maka didirikanlah kantor superintendent di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan adanya dua unsur pimpinan di setiap sekolah.

Kewenangan kedua unsur pimpinan di sekolah itu tidak begitu cepat berkembang, tapi baru setelah pada awal abad ke-19, di mana terjadi pengurangan beban pengajar kepala sekolah, supaya mereka lebih banyak mencurahkan waktu untuk membantu pekerjaan guru di kelas. Sehingga dapat dikatakan dari sinilah dimulainya dua fungsi kepala sekolah, yaitu sebagai administrator dan supervisor di sekolah.

Di dunia pendidikan Indonesia, diterapkannya secara formal konsep supervisi diperkirakan sejak diberlakukannya Keputusan Menteri P dan K, RI. Nomor: 0134/1977, yang  menyebutkan siapa saja yang berhak disebut supervisor di sekolah, yaitu kepala sekolah, penilik sekolah untuk tingkat kecamatan, dan para pengawas di tingkat kabupaten/ Kotamadya serta staf kantor bidang yang ada di setiap propinsi.

Di dalam PP Nomor 38/Tahun 1992, terdapat perubahan penggunaan istilah pengawas dan penilik. Istilah pengawas dikhususkan untuk supervisor pendidikan di sekolah sedangkan penilik khusus untuk pendidikan luar sekolah. Kedudukan pengawas semakin penting setelah keluar UU. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; Semua Permendiknas tentang 8 Standar Nasional Pendidikan; Permendiknas No. 12 Th. 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah/Madrasah, SK Menpan nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya;Keputusan bersama Mendikbud nomor 0322/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas; Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya; Permendiknas Nomor 39/Tahun 2009 tentang pemehunan beban kerja guru dan pengawas satuan pendidikan.

Standar mutu pengawas yang telah ditetapkan  oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (Sudjana, Nana, 2006) bahwa  pengawas sekolah berfungsi sebagai supervisor baik supervisor akademik maupun supervisor manajerial. Sebagai supervisor akademik, pengawas sekolah berkewajiban untuk membantu kemampuan profesional guru agar guru dapat meningkatkan mutu proses pembelajaran. Sedangkan sebagai supervisor manajerial, pengawas berkewajiban membantu kepala sekolah agar mencapai sekolah yang efektif. Pembinaan dan pengawasan kedua aspek tersebut hendaknya menjadi tugas pokok pengawas sekolah.(uraian lebih lanjut dalam bagian tersendiri).

Semua produk hukum itu mengarahkan bahwa kedudukan pengawas bukan hanya sebagai jabatan buangan dan pajangan di kantor dinas pendidikan, tetapi mempunyai fungsi penggerak kemajuan pendidikan di sekolah. Sebagaimana guru, pengawas juga harus memulai pekerjaan dengan perencanaan, pelaksanaan dan diakhir dengan pelaporan tertulis yang akan dibicara dalam bagian tersendiri. Pada tahun 2013, pemerintah Kota Pekanbaru sudah mulai membatasi gerak guru untuk menjadi kepala sekolah dan pengawas dengan batasan umur dan tingkat pendidikan. Umur tidak boleh lebih dari 65 tahun dan pendidikan harus S2.


3.2 Latar Belakang Pentingnya Supervisi di Sekolah

Dunia pendidikan dewasa ini terasa seperti berpacu dengan perkembangan teknologi, sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan yang sangat cepat yang menuntut penyusuaian-penyesuaian kehidupan, termasuk kehidupan di dunia pendidikan, di mana guru sebagai ujung tombaknya, yang harus siap bukan hanya dalam pelaksanaan tugas, tapi juga yang lebih penting adalah kesiapan secara pribadi, karena penampilan di muka kelas selalu mencerminkan sikap hidupnya secara keseluruhan, yang menurut pengalaman besar pengaruhnya terhadap proses belajar mengajar.

Profesi guru sekarang benar-benar dituntut profesional dalam arti harus mengerjakan tugas, karena guru terus dipantau oleh proses pemberian tunjangan yang mengharuskan mereka mengajar sesuai dengan bidang ilmunya  dan dengan jam tatap muka 24 jam seminggu. Sehingga bila tanpa bimbingan dari kepala sekolah dan pengawas kurang baik akan mengakibatkan guru kehilangan kepercayaan diri

Hal yang lebih terperinci, tentang pentingnya supervisi pendidikan pernah dikemukakan oleh Leeper (dalam Soetopo, 1982: 1) bahwa setidak-tidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya supervisi pendidikan:

1. Bahwa dalam perubahan sosial dewasa ini perlu diperhatikan dimensi baru, yaitu perubahan teknologi ruang angkasa.
2. Susunan Internasional yang berubah dari polarisasi kekuatan pluralisme dalam kekuatan.
3. Berkembangnya sains dan teknologi yang semakin pasat.
4. Urbanisasi yang  meningkat, menyebabkan masalah baru dalam pendidikan.
5. Adanya tuntutan hak-hak azasi manusia yang juga menyebabkan problem bagi para pendidik yang memerlukan pemecahan secara rasional.
6. Akibat adanya pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang menyebabkan adanya:
a. Daerah-daerah miskin dan daerah-daerah kaya.
b. Adanya banyak waktu luang.
c. Kecendrungan muda mudi memerlukan pendidikan umum dan kejuruan untuk dapat bekerja atau mencari kerja dalam masyarakat.
7. Suburnya birokrasi, dapat menghambat kelancaran dalam bidang pendidikan .


Apa yang disebutkan diatas masih sangat relevan sampai sekarang, maka berikut uraian lebih lengkap disertrai contoh-contoh yang aktual, yaitu:

a. Perubahan Sosial
Sekarang, perubahan sosial memang sangat dirasakan sekali, terutama yang disebakan oleh kemajuan teknologi ruang angkasa. Misalnya dengan adanya parabola dan internet (international network) yang memungkinkan orang (peserta didik) yang hanya dalam waktu beberapa detik saja dapat melihat peristiwa dunia dengan segala keanekaragamannya - yang mencolok dengan keadaan di negaranya, terutama perbedaan nilai dari perilaku sosial.Tanpa disadari bahwa sebagian siswa sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya di muka televisi dan komputer  yang di dalam waktu itu, ia bisa bertemu dengan berbagai nilai-nilai hidup yang berasal dari segala penjuru dunia. Sehingga membentuk perilaku sosial yang baru, sehingga dapat menyulitkan guru di kelas. Misalnya, siswa berani mengetes guru, melawan guru dan lain-lain.

Perubahan sosial ini ditandai dengan perubahan pandangan masyarakat terhadap fungsi guru, karena  tugas guru mulai diambil oleh "mahluk" lain yang merupakan rekayasa dalam bidang teknologi komunikasi dan elektronika, misalnya dengan adanya jejaringan sosial (facebook) yang sedang marak dewasa ini.

b. Globalisasi

Pada beberapa tahun ini istilah globalisasi menggema luar biasa, yaitu suatu perobahan dunia secara menyeluruh yang mempunyai pengaruh timbal balik secara menyeluruh pula. Misalnya perubahan di daratan Eropa dan Asia, pergolakan di Timur Tengah, dan di RRC, yang mempunyai pengaruh langsung terhadap situasi dunia secara keseluruhan, yang secara tidak sadar dapat mempengaruhi sistem dan isi pendidikan di sekolah. Hal yang tampak pada lima tahun terakhir ini adalah Indonesia dijadikan sebagai pangsa konsumen digital oleh Cina melalui perdagangan bebas. Dalam keadaan begini memang harus ada kesiapan calon dan guru karena perubahan sistem dan isi pendidikan bisa bersifat insidental atau yang sulit diramalkan bentuknya. Hal ini tentunya membawa berbagai konsekwensi. Konsekwensi positif adalah terjadinya kerja sama bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanan, sedangkan konsekwensi negatif adalah yang menyangkut masalah moral dan kriminal, misalnya pergaulan bebas, perkosaan, perjudian, narkotika dan lain-lain.

Kerja sama bidang sosial budaya yang telah disepakati dalam aspek pembangunan penyelenggaraan pendidikan dari beberapa negara. Sekolah-sekolah berstandar internasional bermunculan pada semua daerah, di mana guru harus  menmpunyai pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi siswa dalam peradaban yang berbeda, bahasa termasuk penggunaan peralatan  canggih. Karena itu perlu ada usaha pengenalan peradaban bangsa dunia  dan peralatan canggih kepada calon dan guru-guru di instansi dan lembaga-lembaga pendidikan dalam tatatan baru ini.

c. Perkembangan Sains dan Teknologi

Perkembangan sains dan teknologi sekarang ini benar-benar telah mengubah fungsi manusia, yang sekaligus mengubah fungsi guru di muka kelas. Di mana guru tidak hanya dituntut dapat bercerita di depan kelas, tapi ia juga diharuskan mempunyai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan tambahan untuk dapat memanfaatkan produk teknologi, baik itu bahan pelajaran, alat peraga, media pendidikan, seperti film, slide, over head projector (OHP), video, dan komputer. Kemajuan komputer dengan jaringan internet bisa menyediakan berbagai sumber materi pelajaran yang bisa dibaca dan didonwload berupa materi digital.

Selayaknya ada semacam usaha untuk meningkatkan pengetahuan guru dalam bidang-bidang yang disebutkan tadi, baik melalui latihan atau pendidikan khusus, karena pada satu saat penggunaan alat-alat itu tidak dapat dielakkan lagi dalam mendukung proses belajar mengajar, yang bukan berarti tugas guru semakin ringan, tapi malah justru semakin berat, karena guru apapun harus mempunyai keterampilan teknis dalam bidang elektronik dan komputer paling rendah bisa membuka internet, memiliki email, face book dan atau website. Apalagi dengan perubahan kurikulum 2013 di mana anak harus dibiasakan menggunakan sumber lain.

d. Urbanisasi

Urbanisasi, yang merupakan arus perpindahan penduduk desa ke kota semakin hari semakin meningkat, terutama di kota-kota yang banyak menjanjikan pekerjaan. Hal ini bukan hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, tapi juga untuk daerah baru seperti di Riau yang sudah terjadi pemekaran provinsi dan kabupaten, yang mengakibatkan heterogennya masyarakat, di mana guru akan berhadapan dengan keragaman perilaku masyarakat, terutama siswanya.

Munculnya daerah-daerah baru berkembang seperti Pelalawan, Dumai, Siak,  Batam, Bintan, Natuna  akan menciptakan masyarakat baru, di kota yang baru yang tidak mudah diramalkan bentuk peradaban yang muncul, oleh karena itu guru-guru harus bersiap-siap secara profesional dengan keadaan itu. Sebab keragaman perilaku siswanya harus dihadapi dengan perilaku yang baru pula.

e. Demokrasi Pendidikan

Di Indonesia sekarang ini, tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak sudah dapat dikatakan mencapai puncaknya, yang di suatu sulitnya mengadakan sarana dan sarana pendidikan dan di pihak lain masih ada masyarakat yang masih belum mengerti dengan sistem pendidikan, yang menseleksi peserta didik atas dasar spesifikasi, sehingga kita masih melihat ada orang tua yang memaksakan kehendaknya, yang mengakibatkan tidak seragamnya siswa di sekolah, sehingga menyulitkan proses belajar mengajar. Misalnya bergabungnya anak cacat di sekolah-sekolah normal, mereka masih segam memasukkan anak mereka di SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa). Lemahnya sistem seleksi penerimaan siswa baru, baik oleh tekniknya maupun kebijaksanaan yang menyertainya, juga menambah heterogennya murid-murid di sekolah, yang sama masalah dengan persoalan di atas. Dengan adanya komite sekolah juga menambah demokrasi pendidikan semakin terbuka akan kehadiran masyarakat untuk ikut dalam pengelolaan sekolah, yang tentunya tidak semudah membalikkan telapan tangan.

f. Perubahan Daerah

Pembangunan Pulau Batam dan Pulau Bintan, yang melibatkan investor dari dalam dan luar secara besar-besaran, telah membuat kedua daerah yang dulunya miskin, kini menjadi daerah perkembangan ekomoni baru, yang sekaligus menyulitkan dan mengejutkan masyarakat setempat, baik guru maupun peserta didik. Persaigan hidup semakin ketat, barang-barang menjadi mahal, standar kehidupan berubah - yang mengakibatkan ada masyarakat yang merasa miskin mendadak, baik karena tidak mempunyai keahlian maupun karena bekerja di sektor yang tidak diperhitungkan dalam perkembangan daerah itu, terutama sektor pendidikan, apalagi bagi guru-guru yang berstatus Pegawai Negeri Pusat yang diperbantukan di daerah, yang hidup hanya dengan penghasilan pas-pasan, di mana menurut pengalaman seorang guru yang berpendidikan sarjana - yang pegawai negeri di Batam bahwa gaji mereka hanya cukup untuk 10 hari, dan sepasang suami istri yang juga keduanya sarjana yang berkerja di di suatu SMA, bahwa gaji mereka yang diangkat dengan pendidikan sarjana juga sulit hidup, apalagi mereka sudah pula mempunyai dua orang anak.

Munculnya bencana di Aceh dan Sumatera Barat membuat mengalirnya penduduk ke suatu daerah, misalnya di Riau yang dapat menimbulkan banyaknya problem sosial, seperti premanisme, kriminalitas, gelandangan dan lainya. Pembangunan Pulau Batam dan Bintan, juga menimbulkan konsekwensi lain. Seperti banyaknya siswa yang menggunakan waktu luangnya di luar rumah dan sekolah, baik untuk berekreasi maupun untuk mencari keperluan lain. Yang dapat membuat mereka kurang memperhatian pelajaran.

Munculnya tuntutan dari siswa dari dunia pendidikan agar dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan pembangunan yang sedang berlangsung - yang mengharuskan guru benar-benar dapat memenuhi keinginan itu, terutama terhadap guru-guru yang mengajar pelajaran yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan pembangunan yang sedang di lihat oleh siswa, seperti pelajaran sejarah, PMP, Agama, dan lain-lain.

g. Suburnya Birokrasi

Banyaknya prosedur yang harus dilalui dan panjangnya waktu yang harus ditempuh oleh seorang guru dalam berbagai urusan kepegawaiannya, baik itu soal kepangkatan maupun penggajian, telah menambah beban kerja guru. Sehingga, kadang-kadang dapat menguras tenaga dan biaya, yang pada puncaknya dapat menganggu kehadiran dan penampilan guru di muka kelas, padahal waktu, tenaga, dan biaya hidup masih terbatas.

Dengan adanya perubahan sistem kepegawaian guru dari sentralisasi ke desenteraliasi ternyata masih menyisakan birokrasi kepegawaian yang panjang. Yaitu dengan ada perpanjangan tangan pusat melalui LPMP, Dinas Propinsi dan kabupaten dan kota. Ternyata tidak mempermudah urusan kepegawaian guru, terutama bukan hanya status kepegawaian tetapi juga soal kepangkatan, penggajian dan honor yang bisa tumpang tindik

h. Guru Muda dan Guru Wanita

Di samping hal-hal telah disebutkan di atas, masih ada faktor lain yang tak kalah pentingnya - yang ikut mempengaruhi tugas guru-guru di sekolah, seperti makin besarnya jumlah guru-guru muda yang belum berpengalaman, dan banyanya guru-guru wanita di suatu sekolah, serta menurunnya prestise guru.

Banyaknya guru muda, terutama yang baru saja menamatkan pendidikan, yang pada umumnya mereka masih belum berpengalaman dalam kehidupan di sekolah, di mana mereka memerlukan penangan yang khusus, supaya mereka tidak berbuat menurut selera muda, yang selalu keluar dari tujuan sekolah, misalnya terlalu mengutamakan kegiatan ekstra kurikuler, seperti berkemah, rekreasi, bergadang di rumah guru dan lain-lain.

Banyaknya guru-guru wanita di suatu sekolah juga akan menyebabkan berbagai persoalan, terutama bagi guru-guru yang baru berumahtangga, atau yang mempunyai anak, apalagi guru yang hamil, dan yang sedang menunggu kelahiran, yang apabila terjadi dalam waktu bersamaan akan berakibat fatal bagi proses belajar mengajar di sekolah. Di mana dalam keadaan yang demikian memang memerlukan seorang kepala sekolah yang bijaksana. Menurunnya prestise guru di mata murid dan masyarakat, terutama disebabkan oleh mulai berperanannya lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah (PLS) - yang menjajikan langsung keterampilan dan lapangan pekerjaan - yang ditambah lagi dengan banyaknya murid yang mengetahui latar belakang kehidupan guru sampai kepada periuk nasinya di rumah. Apalagi bagi guru yang terlihat secara nyata kemiskinannya, misalnya datang ke sekolah dengan jalan kaki, bersepeda atau dengan angkutan umum, sementara muridnya datang dengan kendaraan pribadi, seperti honda dan mobil. Ada murid yang dapat menghafal pakaian dan sepatu gurunya, malah setiap guru diberi gelar sesuai dengan identitas jeleknya.

i. Krisis Moneter

Krisis moneter yang melanda sebagian negara-negara Asia umumnya dan Asia Tenggara khususnya pada awal 1998, bukan hanya memberi pukulan pada pengusaha tapi juga pada pendidik alias guru. Walaupun krisis ini tidak secara langsung menghantam kegiatan guru di muka kelas, tapi telah menghunjat periuk nasi guru di dapur.

Kenaikan sembilan bahan pokok sebesar 100% sampai 200% benar-benar menantang kehidupan guru -- yang selama ini sudah berusaha hidup perihatin dengan gaji yang ada, ditambah pula dengan pengeluaran sampai dua kali lipat, sedangkan untuk datang ke sekolah selain harus mempersiapkan bahan pengajaran harus juga mempersiapkan ongkos "oplet". Apakah dalam keadaan ini guru-guru masih bisa mengajar dengan baik atau kreatif. Ada kesan krisis moneter tidak pernah reda, ditambah dengan kasus korupsi yang semakin terkuak, di mana banyaknya uang negara hilang ditangan penguasa dan pengusaha yang tidak bertanggung jawab.
Tak ada jalan lain, kalau tidak bisa menaikkan gaji adalah menjaga moral guru agar tetap sehat walafiat melalui supervisi yang benar dan baik. Pada awal tahun 2013 menjelang pemilu dan isu korupsi membuat nilai tuka rupiah terpuruk sampai Rp.12.000,00.

C. RANGKUMAN

1. Supervisi pendidikan adalah sistem pembinaan guru yang diarahkan kepada perbaikan, peningkatan, dan pengembangan proses belajar mengajar yang efektif dan efisien;
2. Supervisi pendidikan adalah salah satu fase dari fungsi pengawasan pendidikan yang khusus ditujukan kepada aspek manusia dan kegiatannya.
3. Istilah supervisi tidak sama dengan controlling dan actuating.
4. Ruang lingkup supervisi pendidikan mencakup dua hal, yaitu supervisi mikro dan supervisi makro.
5. Supervisi mikro lazim disebut dengan supervisi klinis, sedangkan supervisi makro disebut dengan supervisi pengajaran.
6. Orang yang berfungsi secara formal melaksanakan supervisi disebut supervisor, dalam dunia pendidikan Indonesia dikenal dua istilah yaitu pengawas untuk pendidikan sekolah dan penilik untuk pendidikan luar sekolah, juga ada yang disebut dengan guru inti. Dalam dunia industri dan perusahaan dikenal pula sebutan mandor, dan superintendent. Orang yang dikenai supervisi dinamakan supervisee.
7. Pentingnya supervisi pendidikan dewasa ini dilandasi oleh semakin rumitnya permasalahan pendidikan dan permasalahan kehidupan.


D. TUGAS

Latihan 1 :Buatlah ringkasan dalam bentuk "bagan" yang menggambarkan hubungan antara pengawasan (Controlling) dengan supervisi.
Latihan 2 : 1. Buatlah 10 kesalahan kepala sekolah terhadap guru.
2. Buatlah 10 kesalahan guru terhadap kepala sekolah.
3. Berikan 3 contoh konkrit bentuk pengurasan tenaga guru di sekolah.
4. Apa ukuran kesejahteraan guru.

Catatan: Semua tugas harus diketik rapi tanpa dikulit tebal dan diserahkan sesuai tepat pada waktunya.


DAFTAR PUSTAKA

Aman, Syofyan. (1980).  Perkembangan organisasi pengurusan sekolah-sekolah di Indonesia. Jakarta: Kurnia Esa.
Ametembun, N.A. (1981a). Guru dalam administrasi sekolah. Bandung: IKIP Bandung.
--------------.(1981b). Supervisi pendidikan. Bandung: Suri.
Arikunto, Suharsimi. (1988). Organisasi dan administrasi pendidikan teknologi dan kejuruan. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Atmosudirdjo, Prajudi S. (1985). Dasar-dasar ilmu administrasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Atmosudirdjo, Prajudi S. (1970). Beberapa pandangan umum: Pengambilan keputusan (Descision Making). Cetakan Pertama Juli. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
--------, (1985). Dasar-dasar ilmu administrasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Balai Pustaka. (1989). Pedoman umum penyelenggaraaan administrasi sekolah mengengah. Jakarta: Balai Pustaka.
----------------, (1990). Angka kredit bagi jabatan guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Dekdikbud, (1982). Kepemimpinan Pendidikan, P3G, Dekdikbud, Jakarta.
----------------. (tanpa tahun). Pedoman Supervisi, Depdikbud, Jakarta.
Enchols, John, M, Shadily, Hassan. (1983). Kamus Bahasa Inggeris Indonesia,  PT. Gramedia, Jakarta.
Effendi. Uchjana, Onong. (1084). Sistem Informasi dalam Manajemen, Alumni, Bandung.
Gibson, J. M., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H. (1985). Organisasi dan manajemen. Perilaku, struktur, proses. (Diterjemahkan oleh Nunuk Adiarni MM, Editor: Lydon Saputra). Jakarta: PT. Bina Aksara.
Gibson, J. M., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H. (1996). Organisasi dan manajemen. Perilaku, struktur, proses. Edisi kedelapan (Diterjemahkan oleh Djoerban Wahid). Jakarta: Erlangga. (New York, 1985).
Harahap, Baharuddin. (1983). Supervisi Pendidikan, PT. Ciawijaya, Jakarta.
Hasymi, A. (1986). Manajemen Informasi, Bina Aksara, Jakarta.
Handayaningrat, Soewarno. (1989). Pengantar studi ilmu administrasi dan manajemen. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Kamars, Dachnel. (1989). Sistem pendidikan dasar, menengah, dan tinggi suatu studi perbandingan antarbeberapa negara. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Kanwil Depdikbud Propinsi Riau. (1991). Petunjuk operasional peningkatan mutu pendidikan. Pekanbaru: Kanwil Depdikbud Riau.
Kartono, Kartini (1981), Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: CV. Rajawali
Kneller, G, F. (1989). Antropologi pendidikan. (Diterjemahkan oleh Imran Manan). Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud. (New York, 1965).
Koentjaraningrat. (1982). Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.
Koontz, H., O'Donnell, C., & Weihrich, H. (1990). Manajemen. Jilid I dan II. (Diterjemahkan oleh Gunawan Hutauruk). Jakarta: Erlangga. (New York, 1984).
Lateiner, A, R. (1985). Teknik memimpin pegawai dan pekerja. (Diterjemahkan oleh Imam Soedjono. Jakarta: CV. Aksara Baru. (London, 1954)
Jamil, Nizami, O.K. (1997). Pola Manajemen Supervisi Pada Kanwil Depdikbud Riau. (Skripsi Sarjana FIP IKIP Padang, 1997).
Idochi, Anwar. (1986). Sistem Informasi Manajemen dan Perencanaan Pembangunan Pendidikan, Aksara, Bandung.
Joni, Raka, T, (editor), JL. Bolla. (1982). Supervisi Klinis, TPPL, BP3, Depdikbud, Jakarta.

Kartono, Kartini. (1983). Pemimpin dan Kepemimpinan, CV. Rajawali Press, Jakarta.
Nawawi, Hadari. (1983). Administrasi Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta.
Nurhadi, Mulyani A. (1983). Administrasi Pendidikan di Sekolah, Jilit I, Andi Offset, Yokyakarta.
Nurtain, H. (1988) Supervisi Pengajaran, (Teori dan Praktek), P3G, Dirjen Dikti, Depdikbud, Jakarta.
Poerwanto, Ngalim (1987). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Mutiara, Jakarta.
Pidarta, Made. (1986). Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan, Sarana Press, tanpa tempat penerbit.
Rifai, Mohd. (1987). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Jemmars, Bandung.
Sehertian, A. Piet. (1987). Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya.
Siagian, S.P. (1982). Filsafat Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta. 
Sutisna, Oteng. (1983). Administrasi Pendidikan, Aksara, Bandung.
Soetopo, Hendiyat, Westy, Sumartono. (1984). Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Supandi. (1987). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Universitas Terbuka, Jakarta.
Soetopo, Hendiyat, & Soemanto, Wasty. (1984). Kepemimpinan dan supervisi pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Sudjak, Abi. (1990). Kepemimpinan manajer, eksistensinya dalam perilaku organisasi. Jakarta: Pusdiklat Depdikbud.
Sugandha, Dann. (1981). Organisasi, komunikasi, dan teknik memberi perintah. Bandung: CV. Sinar Baru.
-------, (1982). Manajemen administrasi: Suatu pendekatan sistem dalam manajemen perkantoran. Bandung: CV. Sinar Baru.
Sugiyono. (1994). Metode penelitian administrasi. Bandung: Alfabeta.
Sahertian. A Piet. (1994). Profil Pendidik Profesional. Yokyakarta: Adni Offset
Saaty. T. L. (1991). Pengambilan keputusan bagi para pimpinan: Proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Jakarta: PT. Dharma Aksara Perkasa.
Said, Chatlinas. (1988). Pengantar administrasi pendidikan. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Samana, A. (1994). Profesionalisme keguruan. Yokyakarta: Kanisius.
Schatz, K., & Schatz, L. (1986). Managing by influence. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Schein, E. H. (1983). Psikologi organisasi. (Diterjemahkan oleh Nurul Iman). Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. (NJ, 1980)
Siagian, S.P. (1982a). Filsafat administrasi. Jakarta: PT. Gunung Agung.
-------. (1981). Sistem Informasi dalam Pengambilan Keputusan. Jakarta: PT. Gunung Agung.
-------. (1982b). Organisasi kepemimpinan dan perilaku administrasi. Jakarta: PT. Gunung Agung.
-------. (1990). Teori dan praktek pengambilan keputusan. Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
Soedijarto. (1993). Memantapkan sistem pendidikan nasional. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soedjadi. (1989). O & M (Organization and methods) penunjang berhasilnya proses manajemen. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Soepardi. (1988). Dasar-dasar administrasi pendidikan. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Tanthowi, Jawahir. ((1983). Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran Al Quran. Jakarta: Pustaka Al Husna.
Syaifullah, Ali. (1981). Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan: Pendidikan sebagai gejala kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional.
Sutisna, Oteng. (1983). Administrasi pendidikan: Dasar teori untuk praktek profesional. Bandung: Angkasa.
  Marbun, B.N. (1993). Manajemen Jepang. Jakarta: Pustakan Binaman Presindo.
Sudjana, Nana, dkk. (2006). Standar Mutu Pengawas. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
March, J. G., & Simon, H. A. (1958). Organizations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Nawawi, Hadari & Martini Hadari.(1994). Kebijakan pendidikan Indonesia: Ditinjau dari sudut hukum. Yokyakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Pidarta, Made. (1988). Manajemen Pendidikan Indonesia. Bandung: PT. Bina Aksana.
Usman, Uzer. (1989). Menjadi guru profesional. Bandung: PT. Remadja Rosdakarya.
Ya'qub, Hamzah. (1984). Menuju keberhasilan manajemen dan kepemimpinan. Bandung: CV. Diponogoro.
Willes, Kimball. (1987). Supervision for Better School. Printice Hall Inc, Engwwood Cliffs, New Yersey.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar