Selasa, November 14, 2017

Sejarah dan Ruang Lingkup Supervisi Pendidikan

Sejarah dan Ruang Lingkup Supervisi Pendidikan
Said Suhil Achmad
Materi Kuliah

A. PENGANTAR

Dalam Undang-Undang Profesi Guru dan Dosen dikatakan bahwa  pengawas adalah guru yang diangkat dalam jabatan pengawas, yang merupakan karir fungsional yang terhormat dan tertinggi karena kedudukannya sebagai pembina kegiatan guru dan sekolah pada umumnya. Begitu pentingnya kedudukan pengawas, maka sebagai calon guru dan calom kepala sekolah perlu diperkenalkan lebih awal tentang hakekat supervisi yang akan menjadi pekerjaan mereka kelak. Maka dalam kegiatan 3 ini secara berturut akan dibahas, materi (1) Pengertian supervisi pendidikan;, (2) Ruang lingkup supervisi pendidikan; (3) sejarah singkat supervisi pendidikan; , dan (4) Latar belakang pentingnya supervisi pendidikan.

Setelah mahasiswa mempelajari bagian ini diharapkan mahasiswa dapat:
1. Menyebutkan pengertian supervisi pendidikan;
2. Menjelaskan ruang lingkup supervisi pendidikan;
3. Menceritakan sejarah singkat supervisi pendidikan;
4. Menyebutkan latar belakang pentingnya supervisi pendidikan.

 
Cara belajar dalam mata kuliah ini adalah dengan menggunakan model semi Jigsaw. Setiap kelompok harus menjadi ahli dalam setiap kegiatan pembelajaran, kelompok lain (kelompok imbas), salah seorang anggotanya diutus untuk  mendalami materi dari kelompok ahli, demikian sebaliknya. Anggota utusan akan memberikan pengetahuannya kepada teman di kelompoknya. Selanjutnya dilakukan diskusi kelompok terhadap semua materi, dimana anggota kelompok ahli akan menjadi penyaji, dan kelompok imbas akan menjadi penanya. Semua anggota kelompok ahli harus memberikan jawaban bergiliran atas pertanyaan dari anggota lain. Ketua kelompok ahli menjadi ketua kelompok diskusi dan moderator. Materi pelajaran setiap kelompok diringkas  dalam bentuk Powerpoint, dan menjadi materi sajian.


B. URAIAN
1. Pengertian Supervisi Pendidikan

Pengawas adalah sebutan yang diberikan untuk kekerjaan supervisi, di mana  jabatan ini sudah dikenal lama dalam dunia pendidikan, namun maknanya sangat tergantung dengan perjalanan sejarah dunia pendidikan itu sendiri. Dalam ilmu administrasi, terutama administrasi pendidikan kedudukan manusia sangat menentukan, karena itu diperlukan supervisi sebagai suatu "pendekatan" yang paling tepat terhadap manusia yang melaksanakan kegiatan administrasi. Alasannya, karena manusia bukanlah mesin atau robot yang tugasnya hanya setakat menjalankan instruksi, atau program, tetapi juga makhluk yang "bernyawa", yang sama sekali berbeda dengan "makhluk" lain, ia punya perasaan, punya keterbatasan, baik secara fisik maupun psikhis, yang ikut menentukan "warna awal dan akhir sebuah pekerjaan".

Berdasarkan pemikiran di atas maka manusia dalam administrasi dan manajemen tidak hanya dipandang sebagai subjek tetapi juga objek. Atau dengan kata lain, selain sebagai pelaku juga penerima perlakuan. Sekaligus hal ini memberikan perbedaan antara administrasi pendidikan dan administrasi perusahaan yang objeknya lebih dominan barang atau benda mati, sedangkan manusia bukan hanya sekedar bernyawa, tapi mahkluk yang paling canggih yang perlu perlakuan khusus, karena itu supervisi dapat dikatakan satu perlakuan khusus kepada manusia kerja.  Pentingnya "supervisi" dewasa ini didasari atas kecenderungan perlakukan yang kurang sehat terhadap guru sebagai manusia atau bentuk penyalahgunaan sumberdaya manunsia, atau lebih tepat pengurasan sumberdaya manusia. Artinya, guru terlalu diperlakukan sebagai objek bukan subjek. Misalnya, guru harus mengajar sesuai dengan target kurikulum, membuat satuan pelajaran, membuat lembaran kerja siswa, melaksanakan macam-macam tes dan mencatatnya, melaksanakan les, menjadi wali kelas, menjadi piket, sementara waktu yang tersedia hanya sedikit -- sampai mimpinya guru juga dalam kondisi mengajar.  Anehnya, apabila ada kelemahan kurikulum maka dianggap kelemahan guru, padahal guru tak ikut menyusun kurikulum. Guru tidak punya jalur untuk menyampaikan kelemahan kurikulum. Sebenarnya kepala sekolah yang dapat menampung semua itu, namun ia lebih banyak tergelam dengan urusan pengorganisaisian, sehingga guru seperti "ayam kehilangan induk." Banyak kepala sekolah lupa akan fungsinya sebagai supervisor, mereka lebih banyak berlagak seperti komandan perang ketimbang seorang pemimpin (leader).

Apalagi ada oknum kepala sekolah dan pejabat pendidikan yang "separoh hati" dalam membina guru. Di suatu pihak mereka menyuarakan pentingnya peningkatan mutu guru, tapi di lain pihak mereka menekannya. Misalnya, guru yang tugas belajar dipotong tunjangannya tanpa ada kovensasi; kalau ada tunjangan tambahan dicari-cari jalan memotongnya atau paling kurang memperlambat penyerahahnya. Malah ada guru yang ingin kuliah dengan biaya, tapi terpaksa dicari "peraturan yang bisa mengganjalnya". Yang menyedihkan kalau sampai pada urusan naik pangkat. Misalnya untuk memenuhi kredit harus melakukan macam-macam, tapi waktunya terbatas. Apalagi disuruh sekolah sambil mengajar. Di suatu pihak baik, tapi di lain pihak dapat mengurangi umur sehat guru.

Bukan hanya itu yang ditimpakah kepada guru, ada lagi misalnya kalau terjadi perkelahian pelajar dianggap kelalaian guru, padahal tidak terjadi di sekolah. Kalau siswa tidak naik kelas atau tidak lulus dianggap guru tak pandai mengajar, padahal sudah dari awal orang tua diberi tahu, tapi orang acuh. Atas dasar uraian di atas maka supervisi pendidikan harus diberikan kepada calon guru dimulai dari pengertian, ruang lingkup, sejarah, dan latar belakang pentingnya supervisi pendidikan. Mudah-mudahan dapat membantu mahasiswa menghubungkan materi yang sudah dipelarinnya di dalam Dasar-Dasar Administrasi Pendidikan dengan materi ini.

Istilah supervisi pendidikan dibangun dari dua kata: supervisi dan pendidikan. Dalam uraian-uraian berikut hanya istilah supervisi yang lebih banyak diberbicarakan dari pendidikan, karena istilah pendidikan (education) lebih lengkap telah dikupas habis dalam mata kuliah Dasar-Dasar Kependidikan. Supervisi adalah istilah yang relatif baru dikenal di dunia pendidikan di Indonesia (lihat sejarah supervisi), karena itu perlu uraian secara lengkap tentang pengertiannya, yang akan dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu dari sudut etimologis, morfologis, dan semantik.
Secara etimologis, kata supervisi berasal dari bahasa Inggris, yaitu supervision, artinya pengawasan (Echols, 1983: 569). Oteng (1983: 222) mengatakan bahwa penggunaan istilah supervisi sering diartikan sama dengan directing atau pengarahan. Sementara Suharsimi (1988: 152) mengatakan bahwa memang sejak dulu banyak orang menggunakan istilah pengawasan, penilikan atau pemeriksaan untuk istilah supervisi, demikian pula pada zaman  Belanda orang mengenal istilah inspeksi.Secara morfologis, kata supervisi terdiri atas dua kata, super dan visi (super dan vision). Menurut Ametembun (1981: 1) super berarti atas atau lebih, sedangkan visi berarti lihat, tilik, dan awasai. Jadi supervisi berarti melihat, menilik dan mengawasi dari atas; atau sekaligus menunjukan bahwa orang yang melaksanakan supervisi berada lebih tinggi dari orang yang dilihat, ditilik, dan diawasi. Secara semantik, para ahli memberikan berbagai corak definisi, tapi pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut (Wiles, 1955: 8) "Supervision is assistance in the development of a better teaching-learning situation" (supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi mengajar yang lebih baik. Neagley dalam Pidarte (1986: 2) menyebutkan bahwa supervisi adalah layanan kepada guru-guru di sekolah yang bertujuan untuk menghasilkan perbaikan instruksional, belajar, dan kurikulum.

Menurut Mc. Nerney (dalam Sahertian, 1982: 20) mengartikan  supervisi sebagai prosedur memberi arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran.Sedangkan Poerwanto (1986: 84) menyatakan, supervisi adalah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.

Tugas pokok pengawas sekolah/satuan pendidikan adalah melakukan penilaian dan pembinaan dengan melaksanakan fungsi-fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi di atas minimal ada tiga kegiatan yang harus dilaksanakan pengawas yakni:

1. Melakukan pembinaan pengembangan kualitas sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan kinerja seluruh staf sekolah,
2. Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan program sekolah beserta pengembangannya,
3. Melakukan penilaian terhadap proses dan hasil program pengembangan sekolah secara kolaboratif dengan stakeholder sekolah.

Pendapat-pendapat di atas menunjukkan bahwa istilah supervisi mengandung makna banyak, tapi mengandung makna yang sama, misalnya bantuan, pelayanan, memberikan arah, penilaian, pembinaan, meningkatkan, mengembangkan dan perbaikan. Dengan kata lain, istilah supervisi dipertentangkan dengan makna mengawasi, menindak, memeriksa, menghukum, mengadili, inspeksi, mengoreksi, dan menyalahkan. Dengan demikian istilah supervisi "tidak sama" dengan istilah controlling, inspection (inspeksi), dan directing (mengarahkan).

Perlu ditegaskan bahwa yang menjadi objek utama supervisi di sekolah adalah guru, walaupun semua orang di sekolah dikenai supervisi itu hanyalah objek perantara. Isyarat lain dari pendapat-pendapat di atas, adalah penting adanya administrasi yang baik dalam kegiatan supervisi, karena itu diperlukan suatu administrasi supervisi, terutama yang menyangkut fungsi utamanya, yaitu perencanaan, pengorganisian, penyelenggaraan dan pengawasan supervisi itu sendiri.

2. Ruang Lingkup Supervisi Pendidikan

Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa materi supervisi pendidikan telah mulai diperkenalkan mata kuliah Dasar-Dasar Administrasi Pendidikan, yang menunjukkan bahwa materi supervisi tidak terlepas dari Administrasi Pendidikan pada umumnya. Rifai (1982: 124)  mengatakan, bahwa di mana ada administrasi harus ada supervisi, dan jika ada supervisi tentu ada suatu yang dilaksanakan, ada administrasi sesuatu.

Dengan demikian, kedudukan supervisi pendidikan sama pentingnya dengan administrasi pendidikan, namun secara hirarkis supervisi merupakan salah satu fase atau tahap dari administrasi. Thomas H Briggs dalam Rifai (1982: 225) menegaskan, bahwa supervisi merupakan bagian atau aspek dari administrasi. Khususnya yang mengenai usaha peningkatan guru sampai kepada taraf penampilan tertentu.

Sarwoto (1985: 104) menjelaskan bahwa secara teoritis yang menjadi objek supervisi ada dua aspek, yaitu:
A. Aspek manusianya, seperti sikap terhadap tugas, disiplin kerja, moral kerja, kejujuran, ketaatan terhadap peraturan organisasi, kerajinan, kecakapan kerja, kemampuan dalam bekerja sama, watak;
B. Aspek kegiatannya, seperti cara bekerja kerja (cara mengajar), metoda pendekatan terhadap siswa, efisiensi kerja, dan hasil kerja.
Pendapat Sarwoto ini secara jelas membedakan apa yang menjadi objek pengawasan (controlling) dan supervisi (supervision).

FUNGSI ADMINISTRASI

1. Perencanaan (planning)
2. Pengorganisasian (organizing)
3. Penyelenggaraan (actuating)
4. Pengawasan (controlling)
                     
FUNGSI CONTROLLING:
                               
1. Inspeksi (inspection)
2. Supervisi (supervision)

SASARAN CONTROLLING:

1. Men (manusia)
2. Money (uang)
3. Material (materi/ bahan)
4. Method (metode/ kurikulum)
5, Mechine (mesin, peralatan)
6. Market (pasar)

SASARAN SUPERVISI:

1. Men (manusianya)
2. Activities (kegiatannya)
Uraian di atas menunjukkan bahwa antara supervisi dan controlling memang mempunyai hubungan yang erat, atau dapat dikatakan supervisi adalah bagian dari kegiatan controlling (pengawasan), sedangkan kegiatan supervisi lebih dititikberatkan pada aspek manusia. Selanjutnya Supandi (1986: 29) menegaskan, supervisi lebih banyak diartikan orang sebagai salah satu fungsi pengawasan pendidikan. Oteng (1983: 203) pula menyebutkan, bahwa controlling adalah fungsi administrasi dalam mana administrator memastikan bahwa apa yang dikerjakan sesuai dengan yang dikehendaki. Ia meliputi pemeriksaan apakah semua berjalan sesuai dengan rencana yang dibuat, instruksi-instruksi yang dikeluarkan, dan prinsip-prinsip yang ditetapkan. Dengan demikian ruang lingkup supervisi pendidikan terdiri atas dua bagian. Pertama, supervisi tidak langsung atau supervisi makro atau supervisi pengajaran. Kedua supervisi yang bersifat langsung atau supervisi mikro yang sekarang dikenal dengan supervisi klinis.

Supervisi makro adalah supervisi pengajaran, yang merupakan rangkaian kegiatan pengawasan pendidikan yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi-kondisi, baik personil maupun material yang memungkinkan terciptanya situasi belajar mengajar yang lebih baik demi tercapainya tujuan pendidikan (Poerwanto, 1986: 99). Harahap (1983: 8) merinci ruang lingkup  supervisi pendidikan sebagai berikut:

a. Supervisi dalam administrasi personalia untuk melihat apakah ada kartu pegawai, soal kenaikan pangkat, soal pembagian tugas dan lain-lain.
b. Supervisi dalam pemeliharaan gedung dan alat-alat seperti kursi, meja, ruang belajar, papan tulis dan lain-lain.
c. Supervisi dalam penyelenggaraan perpustakaan, yaitu soal kondisi buku, pelayanan, ketertiban, dan lain-lain.
d. Supervisi dalam administrasi keuangan, seperti ingin melihat apakah pengeluaran sesuai dengan aturan, ketepatan pembayaran gaji atau honor lainnya kepada pegawai dan guru.
e. Supervisi dalam pengelolaan kafetaria, yaitu soal kebersihan tempat dan makanan, serta soal ketertiban siswa yang jangan sampai menjadi tempat bermain, bolos dan merokok.
f. Supervisi dalam kegiatan ko kurikuler, apakah sampai mengganggu kegiatan belajar siswa, kesehatan, dan keamanan.

Supervisi klinis adalah supervisi yang pelaksanaannya dapat disamakan dengan "praktek kedokteran", yaitu hubungan antara supervisee dan supervisor ibarat hubungan antara pasien dengan dokter (uraian lengkap pada kegiatan tersendiri).
Suatu hal yang perlu ditegaskan, bahwa tidak semua orang yang membantu meningkatkan proses belajar mengajar dapat disebut supervisor. Misalnya PT. CALTEX memberikan bantu buku, alat pelajaran dan laboratorium sekolah, namun kegiatan dapat dikatakan supervisi, tapi ia bukanlah supervisor.


3. Sejarah Supervisi Pendidikan

3.1. Sejarah lahirnya Istilah Supervisi Pendidikan 

Seperti dikatakan di muka bahwa Supervisi adalah istilah yang dapat dikatakan baru dikenal di dunia pendidikan di Indonesia. Istilah ini muncul diperkirakan pada awal tahun 60-an, atau pada dua dasawarsa terakhir ini (Arikunto, 1988: 152). Diperkenalkannya istilah supervisi seiring dengan diberikannyanya mata kuliah administrasi pendidikan di beberapa IKIP di Indonesia, yang kemudian disusul pula dengan dijadikannya administrasi pendidikan sebagai mata pelajaran dan bahan ujian pada SGA/SPG pada tahun ajaran 1965-1966, jadi tidaklah mengherankan kalau ada dari kalangan pendidik sendiri masih ada asing dengan istilah ini, terutama bagi mereka yang menamatkan pendidikan guru, baik di tingkat menengah keguruan maupun pendidikan tinggi pada sebelum tahun 70-an.

Di Indonesia, sebenarnya aktivitas semacam supervisi sudah lama dikenal, tapi sayang sekali kesannya memang agak kurang enak, karena pelaksanaannya  yang lebih cenderung hanya untuk mencari kesalahan dan kekurangan guru dalam mengajar. Pada waktu itu aktivitas itu dikenal dengan istilah inspeksi, yang diwariskan oleh Belanda sewaktu menjajah Indonesia selama  lebih kurang 3,5 abad.

Pada zaman penjajahan Belanda, orang yang memeriksa sekolah dasar (SD) mereka sebut dengan "Schoolopziener", yaitu bertugas memeriksa seluruh mata pelajaran di sekolah dasar yang menggunakan pengantar bahasa Belanda, sedangkan mata pelajaran lain diperiksa oleh petugas yang mereka sebut inspektur, yang juga orang belanda sendiri.
Menurut Harahap (1983: 6) bahwa pada zaman penjajahan Jepang ada sebutan Shigaku, yaitu istilah yang dipakai tugas penilik sekolah dasar, tapi sayang sekali istilah ini tidak begitu lama melekat di kalangan pendidik Indonesia, yang mungkin dikarenakan Jepang tidak terlalu lama menjajah Indonesia, yaitu lebih kurang 2,5 tahun saja. Setelah Indonesia merdeka, istilah Inrspektur pernah dipakai untuk beberapa waktu, tetapi kemudian diubah dengan sebutan pengawas  untuk tingkat sekolah lanjutan dan penilik untuk sekolah dasar. Seiring dengan itu muncul pula sebutan baru, yaitu  supervisi, yang berasal dari bahasa Inggris, supervision, yang diperkenalkan oleh orang-orang yang pernah belajar di Amerika Serikat.

Menurut Soetopo (1984: 63), di Amerika Serikat aktivitas supervisi baru muncul pada permulaan zaman kolonial, yaitu pada sekitar tahun 1654. "The General Court of chusetts bay coloni" menyatakan bahwa pemuka-pemuka kota bertanggung jawab atas seleksi dan pengaturan kerja guru-guru, gerakan dapat danggap sebagai cikal bakal lahirnya konsep yang paling dasar untuk perkembangan supervisi moderen. Kemudian pada tahun 1709, di Boston, a comite of laymen mengunjungi sekolah-sekolah untuk mengetahui penggunaan metode pengajar oleh guru-guru, kecakapan siswa, dan merumuskan usaha-usaha memajukan pengajaran dan organisasi-organisasi sekolah yang baik.

Selanjutnya, perkembangan dan pertumbuhan sekolah dipengaruhi pula oleh bertambahnya jumlah penduduk, yang membuat dibutuhkanya tambahan tenaga guru yang lebih besar, yang ada di antara mereka yang dipilih menjadi kepala sekolah, tapi kepala sekolah pada waktu itu belum berfungsi sebagai supervisor. Namun pada perkembangan selanjutnya baru, terutama setelah bertambahnya aktivitas sekolah, maka didirikanlah kantor superintendent di sekolah-sekolah, yang mengakibatkan adanya dua unsur pimpinan di setiap sekolah.

Kewenangan kedua unsur pimpinan di sekolah itu tidak begitu cepat berkembang, tapi baru setelah pada awal abad ke-19, di mana terjadi pengurangan beban pengajar kepala sekolah, supaya mereka lebih banyak mencurahkan waktu untuk membantu pekerjaan guru di kelas. Sehingga dapat dikatakan dari sinilah dimulainya dua fungsi kepala sekolah, yaitu sebagai administrator dan supervisor di sekolah.

Di dunia pendidikan Indonesia, diterapkannya secara formal konsep supervisi diperkirakan sejak diberlakukannya Keputusan Menteri P dan K, RI. Nomor: 0134/1977, yang  menyebutkan siapa saja yang berhak disebut supervisor di sekolah, yaitu kepala sekolah, penilik sekolah untuk tingkat kecamatan, dan para pengawas di tingkat kabupaten/ Kotamadya serta staf kantor bidang yang ada di setiap propinsi.

Di dalam PP Nomor 38/Tahun 1992, terdapat perubahan penggunaan istilah pengawas dan penilik. Istilah pengawas dikhususkan untuk supervisor pendidikan di sekolah sedangkan penilik khusus untuk pendidikan luar sekolah. Kedudukan pengawas semakin penting setelah keluar UU. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; Semua Permendiknas tentang 8 Standar Nasional Pendidikan; Permendiknas No. 12 Th. 2007 tentang Standar Kompetensi Pengawas Sekolah/Madrasah, SK Menpan nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya;Keputusan bersama Mendikbud nomor 0322/O/1996 dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas; Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya; Permendiknas Nomor 39/Tahun 2009 tentang pemehunan beban kerja guru dan pengawas satuan pendidikan.

Standar mutu pengawas yang telah ditetapkan  oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional (Sudjana, Nana, 2006) bahwa  pengawas sekolah berfungsi sebagai supervisor baik supervisor akademik maupun supervisor manajerial. Sebagai supervisor akademik, pengawas sekolah berkewajiban untuk membantu kemampuan profesional guru agar guru dapat meningkatkan mutu proses pembelajaran. Sedangkan sebagai supervisor manajerial, pengawas berkewajiban membantu kepala sekolah agar mencapai sekolah yang efektif. Pembinaan dan pengawasan kedua aspek tersebut hendaknya menjadi tugas pokok pengawas sekolah.(uraian lebih lanjut dalam bagian tersendiri).

Semua produk hukum itu mengarahkan bahwa kedudukan pengawas bukan hanya sebagai jabatan buangan dan pajangan di kantor dinas pendidikan, tetapi mempunyai fungsi penggerak kemajuan pendidikan di sekolah. Sebagaimana guru, pengawas juga harus memulai pekerjaan dengan perencanaan, pelaksanaan dan diakhir dengan pelaporan tertulis yang akan dibicara dalam bagian tersendiri. Pada tahun 2013, pemerintah Kota Pekanbaru sudah mulai membatasi gerak guru untuk menjadi kepala sekolah dan pengawas dengan batasan umur dan tingkat pendidikan. Umur tidak boleh lebih dari 65 tahun dan pendidikan harus S2.


3.2 Latar Belakang Pentingnya Supervisi di Sekolah

Dunia pendidikan dewasa ini terasa seperti berpacu dengan perkembangan teknologi, sosial, ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan yang sangat cepat yang menuntut penyusuaian-penyesuaian kehidupan, termasuk kehidupan di dunia pendidikan, di mana guru sebagai ujung tombaknya, yang harus siap bukan hanya dalam pelaksanaan tugas, tapi juga yang lebih penting adalah kesiapan secara pribadi, karena penampilan di muka kelas selalu mencerminkan sikap hidupnya secara keseluruhan, yang menurut pengalaman besar pengaruhnya terhadap proses belajar mengajar.

Profesi guru sekarang benar-benar dituntut profesional dalam arti harus mengerjakan tugas, karena guru terus dipantau oleh proses pemberian tunjangan yang mengharuskan mereka mengajar sesuai dengan bidang ilmunya  dan dengan jam tatap muka 24 jam seminggu. Sehingga bila tanpa bimbingan dari kepala sekolah dan pengawas kurang baik akan mengakibatkan guru kehilangan kepercayaan diri

Hal yang lebih terperinci, tentang pentingnya supervisi pendidikan pernah dikemukakan oleh Leeper (dalam Soetopo, 1982: 1) bahwa setidak-tidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakangi perlunya supervisi pendidikan:

1. Bahwa dalam perubahan sosial dewasa ini perlu diperhatikan dimensi baru, yaitu perubahan teknologi ruang angkasa.
2. Susunan Internasional yang berubah dari polarisasi kekuatan pluralisme dalam kekuatan.
3. Berkembangnya sains dan teknologi yang semakin pasat.
4. Urbanisasi yang  meningkat, menyebabkan masalah baru dalam pendidikan.
5. Adanya tuntutan hak-hak azasi manusia yang juga menyebabkan problem bagi para pendidik yang memerlukan pemecahan secara rasional.
6. Akibat adanya pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran yang menyebabkan adanya:
a. Daerah-daerah miskin dan daerah-daerah kaya.
b. Adanya banyak waktu luang.
c. Kecendrungan muda mudi memerlukan pendidikan umum dan kejuruan untuk dapat bekerja atau mencari kerja dalam masyarakat.
7. Suburnya birokrasi, dapat menghambat kelancaran dalam bidang pendidikan .


Apa yang disebutkan diatas masih sangat relevan sampai sekarang, maka berikut uraian lebih lengkap disertrai contoh-contoh yang aktual, yaitu:

a. Perubahan Sosial
Sekarang, perubahan sosial memang sangat dirasakan sekali, terutama yang disebakan oleh kemajuan teknologi ruang angkasa. Misalnya dengan adanya parabola dan internet (international network) yang memungkinkan orang (peserta didik) yang hanya dalam waktu beberapa detik saja dapat melihat peristiwa dunia dengan segala keanekaragamannya - yang mencolok dengan keadaan di negaranya, terutama perbedaan nilai dari perilaku sosial.Tanpa disadari bahwa sebagian siswa sekarang lebih banyak menghabiskan waktunya di muka televisi dan komputer  yang di dalam waktu itu, ia bisa bertemu dengan berbagai nilai-nilai hidup yang berasal dari segala penjuru dunia. Sehingga membentuk perilaku sosial yang baru, sehingga dapat menyulitkan guru di kelas. Misalnya, siswa berani mengetes guru, melawan guru dan lain-lain.

Perubahan sosial ini ditandai dengan perubahan pandangan masyarakat terhadap fungsi guru, karena  tugas guru mulai diambil oleh "mahluk" lain yang merupakan rekayasa dalam bidang teknologi komunikasi dan elektronika, misalnya dengan adanya jejaringan sosial (facebook) yang sedang marak dewasa ini.

b. Globalisasi

Pada beberapa tahun ini istilah globalisasi menggema luar biasa, yaitu suatu perobahan dunia secara menyeluruh yang mempunyai pengaruh timbal balik secara menyeluruh pula. Misalnya perubahan di daratan Eropa dan Asia, pergolakan di Timur Tengah, dan di RRC, yang mempunyai pengaruh langsung terhadap situasi dunia secara keseluruhan, yang secara tidak sadar dapat mempengaruhi sistem dan isi pendidikan di sekolah. Hal yang tampak pada lima tahun terakhir ini adalah Indonesia dijadikan sebagai pangsa konsumen digital oleh Cina melalui perdagangan bebas. Dalam keadaan begini memang harus ada kesiapan calon dan guru karena perubahan sistem dan isi pendidikan bisa bersifat insidental atau yang sulit diramalkan bentuknya. Hal ini tentunya membawa berbagai konsekwensi. Konsekwensi positif adalah terjadinya kerja sama bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan dan keamanan, sedangkan konsekwensi negatif adalah yang menyangkut masalah moral dan kriminal, misalnya pergaulan bebas, perkosaan, perjudian, narkotika dan lain-lain.

Kerja sama bidang sosial budaya yang telah disepakati dalam aspek pembangunan penyelenggaraan pendidikan dari beberapa negara. Sekolah-sekolah berstandar internasional bermunculan pada semua daerah, di mana guru harus  menmpunyai pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi siswa dalam peradaban yang berbeda, bahasa termasuk penggunaan peralatan  canggih. Karena itu perlu ada usaha pengenalan peradaban bangsa dunia  dan peralatan canggih kepada calon dan guru-guru di instansi dan lembaga-lembaga pendidikan dalam tatatan baru ini.

c. Perkembangan Sains dan Teknologi

Perkembangan sains dan teknologi sekarang ini benar-benar telah mengubah fungsi manusia, yang sekaligus mengubah fungsi guru di muka kelas. Di mana guru tidak hanya dituntut dapat bercerita di depan kelas, tapi ia juga diharuskan mempunyai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan tambahan untuk dapat memanfaatkan produk teknologi, baik itu bahan pelajaran, alat peraga, media pendidikan, seperti film, slide, over head projector (OHP), video, dan komputer. Kemajuan komputer dengan jaringan internet bisa menyediakan berbagai sumber materi pelajaran yang bisa dibaca dan didonwload berupa materi digital.

Selayaknya ada semacam usaha untuk meningkatkan pengetahuan guru dalam bidang-bidang yang disebutkan tadi, baik melalui latihan atau pendidikan khusus, karena pada satu saat penggunaan alat-alat itu tidak dapat dielakkan lagi dalam mendukung proses belajar mengajar, yang bukan berarti tugas guru semakin ringan, tapi malah justru semakin berat, karena guru apapun harus mempunyai keterampilan teknis dalam bidang elektronik dan komputer paling rendah bisa membuka internet, memiliki email, face book dan atau website. Apalagi dengan perubahan kurikulum 2013 di mana anak harus dibiasakan menggunakan sumber lain.

d. Urbanisasi

Urbanisasi, yang merupakan arus perpindahan penduduk desa ke kota semakin hari semakin meningkat, terutama di kota-kota yang banyak menjanjikan pekerjaan. Hal ini bukan hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, tapi juga untuk daerah baru seperti di Riau yang sudah terjadi pemekaran provinsi dan kabupaten, yang mengakibatkan heterogennya masyarakat, di mana guru akan berhadapan dengan keragaman perilaku masyarakat, terutama siswanya.

Munculnya daerah-daerah baru berkembang seperti Pelalawan, Dumai, Siak,  Batam, Bintan, Natuna  akan menciptakan masyarakat baru, di kota yang baru yang tidak mudah diramalkan bentuk peradaban yang muncul, oleh karena itu guru-guru harus bersiap-siap secara profesional dengan keadaan itu. Sebab keragaman perilaku siswanya harus dihadapi dengan perilaku yang baru pula.

e. Demokrasi Pendidikan

Di Indonesia sekarang ini, tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak sudah dapat dikatakan mencapai puncaknya, yang di suatu sulitnya mengadakan sarana dan sarana pendidikan dan di pihak lain masih ada masyarakat yang masih belum mengerti dengan sistem pendidikan, yang menseleksi peserta didik atas dasar spesifikasi, sehingga kita masih melihat ada orang tua yang memaksakan kehendaknya, yang mengakibatkan tidak seragamnya siswa di sekolah, sehingga menyulitkan proses belajar mengajar. Misalnya bergabungnya anak cacat di sekolah-sekolah normal, mereka masih segam memasukkan anak mereka di SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa). Lemahnya sistem seleksi penerimaan siswa baru, baik oleh tekniknya maupun kebijaksanaan yang menyertainya, juga menambah heterogennya murid-murid di sekolah, yang sama masalah dengan persoalan di atas. Dengan adanya komite sekolah juga menambah demokrasi pendidikan semakin terbuka akan kehadiran masyarakat untuk ikut dalam pengelolaan sekolah, yang tentunya tidak semudah membalikkan telapan tangan.

f. Perubahan Daerah

Pembangunan Pulau Batam dan Pulau Bintan, yang melibatkan investor dari dalam dan luar secara besar-besaran, telah membuat kedua daerah yang dulunya miskin, kini menjadi daerah perkembangan ekomoni baru, yang sekaligus menyulitkan dan mengejutkan masyarakat setempat, baik guru maupun peserta didik. Persaigan hidup semakin ketat, barang-barang menjadi mahal, standar kehidupan berubah - yang mengakibatkan ada masyarakat yang merasa miskin mendadak, baik karena tidak mempunyai keahlian maupun karena bekerja di sektor yang tidak diperhitungkan dalam perkembangan daerah itu, terutama sektor pendidikan, apalagi bagi guru-guru yang berstatus Pegawai Negeri Pusat yang diperbantukan di daerah, yang hidup hanya dengan penghasilan pas-pasan, di mana menurut pengalaman seorang guru yang berpendidikan sarjana - yang pegawai negeri di Batam bahwa gaji mereka hanya cukup untuk 10 hari, dan sepasang suami istri yang juga keduanya sarjana yang berkerja di di suatu SMA, bahwa gaji mereka yang diangkat dengan pendidikan sarjana juga sulit hidup, apalagi mereka sudah pula mempunyai dua orang anak.

Munculnya bencana di Aceh dan Sumatera Barat membuat mengalirnya penduduk ke suatu daerah, misalnya di Riau yang dapat menimbulkan banyaknya problem sosial, seperti premanisme, kriminalitas, gelandangan dan lainya. Pembangunan Pulau Batam dan Bintan, juga menimbulkan konsekwensi lain. Seperti banyaknya siswa yang menggunakan waktu luangnya di luar rumah dan sekolah, baik untuk berekreasi maupun untuk mencari keperluan lain. Yang dapat membuat mereka kurang memperhatian pelajaran.

Munculnya tuntutan dari siswa dari dunia pendidikan agar dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan pembangunan yang sedang berlangsung - yang mengharuskan guru benar-benar dapat memenuhi keinginan itu, terutama terhadap guru-guru yang mengajar pelajaran yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan pembangunan yang sedang di lihat oleh siswa, seperti pelajaran sejarah, PMP, Agama, dan lain-lain.

g. Suburnya Birokrasi

Banyaknya prosedur yang harus dilalui dan panjangnya waktu yang harus ditempuh oleh seorang guru dalam berbagai urusan kepegawaiannya, baik itu soal kepangkatan maupun penggajian, telah menambah beban kerja guru. Sehingga, kadang-kadang dapat menguras tenaga dan biaya, yang pada puncaknya dapat menganggu kehadiran dan penampilan guru di muka kelas, padahal waktu, tenaga, dan biaya hidup masih terbatas.

Dengan adanya perubahan sistem kepegawaian guru dari sentralisasi ke desenteraliasi ternyata masih menyisakan birokrasi kepegawaian yang panjang. Yaitu dengan ada perpanjangan tangan pusat melalui LPMP, Dinas Propinsi dan kabupaten dan kota. Ternyata tidak mempermudah urusan kepegawaian guru, terutama bukan hanya status kepegawaian tetapi juga soal kepangkatan, penggajian dan honor yang bisa tumpang tindik

h. Guru Muda dan Guru Wanita

Di samping hal-hal telah disebutkan di atas, masih ada faktor lain yang tak kalah pentingnya - yang ikut mempengaruhi tugas guru-guru di sekolah, seperti makin besarnya jumlah guru-guru muda yang belum berpengalaman, dan banyanya guru-guru wanita di suatu sekolah, serta menurunnya prestise guru.

Banyaknya guru muda, terutama yang baru saja menamatkan pendidikan, yang pada umumnya mereka masih belum berpengalaman dalam kehidupan di sekolah, di mana mereka memerlukan penangan yang khusus, supaya mereka tidak berbuat menurut selera muda, yang selalu keluar dari tujuan sekolah, misalnya terlalu mengutamakan kegiatan ekstra kurikuler, seperti berkemah, rekreasi, bergadang di rumah guru dan lain-lain.

Banyaknya guru-guru wanita di suatu sekolah juga akan menyebabkan berbagai persoalan, terutama bagi guru-guru yang baru berumahtangga, atau yang mempunyai anak, apalagi guru yang hamil, dan yang sedang menunggu kelahiran, yang apabila terjadi dalam waktu bersamaan akan berakibat fatal bagi proses belajar mengajar di sekolah. Di mana dalam keadaan yang demikian memang memerlukan seorang kepala sekolah yang bijaksana. Menurunnya prestise guru di mata murid dan masyarakat, terutama disebabkan oleh mulai berperanannya lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah (PLS) - yang menjajikan langsung keterampilan dan lapangan pekerjaan - yang ditambah lagi dengan banyaknya murid yang mengetahui latar belakang kehidupan guru sampai kepada periuk nasinya di rumah. Apalagi bagi guru yang terlihat secara nyata kemiskinannya, misalnya datang ke sekolah dengan jalan kaki, bersepeda atau dengan angkutan umum, sementara muridnya datang dengan kendaraan pribadi, seperti honda dan mobil. Ada murid yang dapat menghafal pakaian dan sepatu gurunya, malah setiap guru diberi gelar sesuai dengan identitas jeleknya.

i. Krisis Moneter

Krisis moneter yang melanda sebagian negara-negara Asia umumnya dan Asia Tenggara khususnya pada awal 1998, bukan hanya memberi pukulan pada pengusaha tapi juga pada pendidik alias guru. Walaupun krisis ini tidak secara langsung menghantam kegiatan guru di muka kelas, tapi telah menghunjat periuk nasi guru di dapur.

Kenaikan sembilan bahan pokok sebesar 100% sampai 200% benar-benar menantang kehidupan guru -- yang selama ini sudah berusaha hidup perihatin dengan gaji yang ada, ditambah pula dengan pengeluaran sampai dua kali lipat, sedangkan untuk datang ke sekolah selain harus mempersiapkan bahan pengajaran harus juga mempersiapkan ongkos "oplet". Apakah dalam keadaan ini guru-guru masih bisa mengajar dengan baik atau kreatif. Ada kesan krisis moneter tidak pernah reda, ditambah dengan kasus korupsi yang semakin terkuak, di mana banyaknya uang negara hilang ditangan penguasa dan pengusaha yang tidak bertanggung jawab.
Tak ada jalan lain, kalau tidak bisa menaikkan gaji adalah menjaga moral guru agar tetap sehat walafiat melalui supervisi yang benar dan baik. Pada awal tahun 2013 menjelang pemilu dan isu korupsi membuat nilai tuka rupiah terpuruk sampai Rp.12.000,00.

C. RANGKUMAN

1. Supervisi pendidikan adalah sistem pembinaan guru yang diarahkan kepada perbaikan, peningkatan, dan pengembangan proses belajar mengajar yang efektif dan efisien;
2. Supervisi pendidikan adalah salah satu fase dari fungsi pengawasan pendidikan yang khusus ditujukan kepada aspek manusia dan kegiatannya.
3. Istilah supervisi tidak sama dengan controlling dan actuating.
4. Ruang lingkup supervisi pendidikan mencakup dua hal, yaitu supervisi mikro dan supervisi makro.
5. Supervisi mikro lazim disebut dengan supervisi klinis, sedangkan supervisi makro disebut dengan supervisi pengajaran.
6. Orang yang berfungsi secara formal melaksanakan supervisi disebut supervisor, dalam dunia pendidikan Indonesia dikenal dua istilah yaitu pengawas untuk pendidikan sekolah dan penilik untuk pendidikan luar sekolah, juga ada yang disebut dengan guru inti. Dalam dunia industri dan perusahaan dikenal pula sebutan mandor, dan superintendent. Orang yang dikenai supervisi dinamakan supervisee.
7. Pentingnya supervisi pendidikan dewasa ini dilandasi oleh semakin rumitnya permasalahan pendidikan dan permasalahan kehidupan.


D. TUGAS

Latihan 1 :Buatlah ringkasan dalam bentuk "bagan" yang menggambarkan hubungan antara pengawasan (Controlling) dengan supervisi.
Latihan 2 : 1. Buatlah 10 kesalahan kepala sekolah terhadap guru.
2. Buatlah 10 kesalahan guru terhadap kepala sekolah.
3. Berikan 3 contoh konkrit bentuk pengurasan tenaga guru di sekolah.
4. Apa ukuran kesejahteraan guru.

Catatan: Semua tugas harus diketik rapi tanpa dikulit tebal dan diserahkan sesuai tepat pada waktunya.


DAFTAR PUSTAKA

Aman, Syofyan. (1980).  Perkembangan organisasi pengurusan sekolah-sekolah di Indonesia. Jakarta: Kurnia Esa.
Ametembun, N.A. (1981a). Guru dalam administrasi sekolah. Bandung: IKIP Bandung.
--------------.(1981b). Supervisi pendidikan. Bandung: Suri.
Arikunto, Suharsimi. (1988). Organisasi dan administrasi pendidikan teknologi dan kejuruan. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Atmosudirdjo, Prajudi S. (1985). Dasar-dasar ilmu administrasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Atmosudirdjo, Prajudi S. (1970). Beberapa pandangan umum: Pengambilan keputusan (Descision Making). Cetakan Pertama Juli. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
--------, (1985). Dasar-dasar ilmu administrasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Balai Pustaka. (1989). Pedoman umum penyelenggaraaan administrasi sekolah mengengah. Jakarta: Balai Pustaka.
----------------, (1990). Angka kredit bagi jabatan guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Dekdikbud, (1982). Kepemimpinan Pendidikan, P3G, Dekdikbud, Jakarta.
----------------. (tanpa tahun). Pedoman Supervisi, Depdikbud, Jakarta.
Enchols, John, M, Shadily, Hassan. (1983). Kamus Bahasa Inggeris Indonesia,  PT. Gramedia, Jakarta.
Effendi. Uchjana, Onong. (1084). Sistem Informasi dalam Manajemen, Alumni, Bandung.
Gibson, J. M., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H. (1985). Organisasi dan manajemen. Perilaku, struktur, proses. (Diterjemahkan oleh Nunuk Adiarni MM, Editor: Lydon Saputra). Jakarta: PT. Bina Aksara.
Gibson, J. M., Ivancevich, J. M., & Donnelly, J. H. (1996). Organisasi dan manajemen. Perilaku, struktur, proses. Edisi kedelapan (Diterjemahkan oleh Djoerban Wahid). Jakarta: Erlangga. (New York, 1985).
Harahap, Baharuddin. (1983). Supervisi Pendidikan, PT. Ciawijaya, Jakarta.
Hasymi, A. (1986). Manajemen Informasi, Bina Aksara, Jakarta.
Handayaningrat, Soewarno. (1989). Pengantar studi ilmu administrasi dan manajemen. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Kamars, Dachnel. (1989). Sistem pendidikan dasar, menengah, dan tinggi suatu studi perbandingan antarbeberapa negara. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Kanwil Depdikbud Propinsi Riau. (1991). Petunjuk operasional peningkatan mutu pendidikan. Pekanbaru: Kanwil Depdikbud Riau.
Kartono, Kartini (1981), Pemimpin dan kepemimpinan. Jakarta: CV. Rajawali
Kneller, G, F. (1989). Antropologi pendidikan. (Diterjemahkan oleh Imran Manan). Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud. (New York, 1965).
Koentjaraningrat. (1982). Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia.
Koontz, H., O'Donnell, C., & Weihrich, H. (1990). Manajemen. Jilid I dan II. (Diterjemahkan oleh Gunawan Hutauruk). Jakarta: Erlangga. (New York, 1984).
Lateiner, A, R. (1985). Teknik memimpin pegawai dan pekerja. (Diterjemahkan oleh Imam Soedjono. Jakarta: CV. Aksara Baru. (London, 1954)
Jamil, Nizami, O.K. (1997). Pola Manajemen Supervisi Pada Kanwil Depdikbud Riau. (Skripsi Sarjana FIP IKIP Padang, 1997).
Idochi, Anwar. (1986). Sistem Informasi Manajemen dan Perencanaan Pembangunan Pendidikan, Aksara, Bandung.
Joni, Raka, T, (editor), JL. Bolla. (1982). Supervisi Klinis, TPPL, BP3, Depdikbud, Jakarta.

Kartono, Kartini. (1983). Pemimpin dan Kepemimpinan, CV. Rajawali Press, Jakarta.
Nawawi, Hadari. (1983). Administrasi Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta.
Nurhadi, Mulyani A. (1983). Administrasi Pendidikan di Sekolah, Jilit I, Andi Offset, Yokyakarta.
Nurtain, H. (1988) Supervisi Pengajaran, (Teori dan Praktek), P3G, Dirjen Dikti, Depdikbud, Jakarta.
Poerwanto, Ngalim (1987). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Mutiara, Jakarta.
Pidarta, Made. (1986). Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan, Sarana Press, tanpa tempat penerbit.
Rifai, Mohd. (1987). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Jemmars, Bandung.
Sehertian, A. Piet. (1987). Prinsip dan Teknik Supervisi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya.
Siagian, S.P. (1982). Filsafat Pendidikan, Gunung Agung, Jakarta. 
Sutisna, Oteng. (1983). Administrasi Pendidikan, Aksara, Bandung.
Soetopo, Hendiyat, Westy, Sumartono. (1984). Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta.
Supandi. (1987). Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Universitas Terbuka, Jakarta.
Soetopo, Hendiyat, & Soemanto, Wasty. (1984). Kepemimpinan dan supervisi pendidikan. Jakarta: PT. Bina Aksara.
Sudjak, Abi. (1990). Kepemimpinan manajer, eksistensinya dalam perilaku organisasi. Jakarta: Pusdiklat Depdikbud.
Sugandha, Dann. (1981). Organisasi, komunikasi, dan teknik memberi perintah. Bandung: CV. Sinar Baru.
-------, (1982). Manajemen administrasi: Suatu pendekatan sistem dalam manajemen perkantoran. Bandung: CV. Sinar Baru.
Sugiyono. (1994). Metode penelitian administrasi. Bandung: Alfabeta.
Sahertian. A Piet. (1994). Profil Pendidik Profesional. Yokyakarta: Adni Offset
Saaty. T. L. (1991). Pengambilan keputusan bagi para pimpinan: Proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Jakarta: PT. Dharma Aksara Perkasa.
Said, Chatlinas. (1988). Pengantar administrasi pendidikan. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Samana, A. (1994). Profesionalisme keguruan. Yokyakarta: Kanisius.
Schatz, K., & Schatz, L. (1986). Managing by influence. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.
Schein, E. H. (1983). Psikologi organisasi. (Diterjemahkan oleh Nurul Iman). Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. (NJ, 1980)
Siagian, S.P. (1982a). Filsafat administrasi. Jakarta: PT. Gunung Agung.
-------. (1981). Sistem Informasi dalam Pengambilan Keputusan. Jakarta: PT. Gunung Agung.
-------. (1982b). Organisasi kepemimpinan dan perilaku administrasi. Jakarta: PT. Gunung Agung.
-------. (1990). Teori dan praktek pengambilan keputusan. Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
Soedijarto. (1993). Memantapkan sistem pendidikan nasional. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soedjadi. (1989). O & M (Organization and methods) penunjang berhasilnya proses manajemen. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Soepardi. (1988). Dasar-dasar administrasi pendidikan. Jakarta: P2LPTK, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Tanthowi, Jawahir. ((1983). Unsur-Unsur Manajemen Menurut Ajaran Al Quran. Jakarta: Pustaka Al Husna.
Syaifullah, Ali. (1981). Pendidikan, pengajaran dan kebudayaan: Pendidikan sebagai gejala kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional.
Sutisna, Oteng. (1983). Administrasi pendidikan: Dasar teori untuk praktek profesional. Bandung: Angkasa.
  Marbun, B.N. (1993). Manajemen Jepang. Jakarta: Pustakan Binaman Presindo.
Sudjana, Nana, dkk. (2006). Standar Mutu Pengawas. Jakarta: Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
March, J. G., & Simon, H. A. (1958). Organizations. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Nawawi, Hadari & Martini Hadari.(1994). Kebijakan pendidikan Indonesia: Ditinjau dari sudut hukum. Yokyakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Pidarta, Made. (1988). Manajemen Pendidikan Indonesia. Bandung: PT. Bina Aksana.
Usman, Uzer. (1989). Menjadi guru profesional. Bandung: PT. Remadja Rosdakarya.
Ya'qub, Hamzah. (1984). Menuju keberhasilan manajemen dan kepemimpinan. Bandung: CV. Diponogoro.
Willes, Kimball. (1987). Supervision for Better School. Printice Hall Inc, Engwwood Cliffs, New Yersey.


Supervisi Klinis


Supervisi Klinis
Said Suhil Achmad
Materi Kuliah

A. PENGANTAR

Di dalam materi sebelumnya disebutkan bahwa Supervisi Klinis adalah satu diantara 4 model supervisi, yaitu bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus yang sistematik, dalam perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif  dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata, serta benujuan mengadakan perubahan dengan cara yang rasional.   Bagaimana hakekat supervisi klinis? Maka dalam kegiatan  ini akan diuraikan tentang 1. Pengajaran mikro (mickro teaching); 2. Supervisi Klinis (Clinical Supervision);3. Tahap/Prosedur Supervisi Klinis; 4. Keterampilan dasar mengajar.

Diharapkan setelah membaca dan melihat demontrasi dari materi ini mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan pengertian pengajaran mikro (mickro teaching);
2. Menjelaskan pengertian supervisi Klinis (Clinical Supervision);
3. Menjelaskan proses supervisi klinis dalam pengajaran;
5. Mensimulasikan supervisi klinis sesuai dengan prosedur; dan
6. Menjelaskan cara melatih komponen Keterampilan dasar mengajar.

  Cara belajar dalam mata kuliah ini adalah dengan menggunakan model semi Jigsaw. Setiap kelompok harus menjadi ahli dalam setiap kegiatan pembelajaran, kelompok lain (kelompok imbas), salah seorang anggotanya diutus untuk  mendalami materi dari kelompok ahli, demikian sebaliknya. Anggota utusan akan memberikan pengetahuannya kepada teman di kelompoknya. Selanjutnya dilakukan diskusi kelompok terhadap semua materi, dimana anggota kelompok ahli akan menjadi penyaji, dan kelompok imbas akan menjadi penanya. Semua anggota kelompok ahli harus memberikan jawaban bergiliran atas pertanyaan dari anggota lain. Ketua kelompok ahli menjadi ketua kelompok diskusi dan moderator. Materi pelajaran setiap kelompok diringkas  dalam bentuk Powerpoint, dan menjadi materi sajian .


B. URAIAN

1. Pengajaran mikro (mickro teaching)

Menurut Bapadal (2003) supervisi klinis pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan olehh Morris L Logan. Robert Goldha,,er, dan Richart Weller di Universitas Harvard pada akhir dasawarsa lima puluhan dan awal dasawarna enam puluhan. Supervisi klinis adalah proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal. Hal sangat mendukung PP 22 Tahun 2006, tentang Standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah, yang mengaruskan guru taat asas terhadap isi mata pelalajaran yang diajarkannya. Pengajaran Mikro (Mickro Teaching) dan Supervisi Klinis (Clinical Supervision), adalah dua istilah setali dua uang, karena supervisi klinis berada di dalam konteks pengajaran mikro (microteaching) itu sendiri. Menurut Bolla (1982) pengalaman lapangan yang berjenjang adalah untuk dapat menguasai perangkat keterampilan keguruan yang utuh, perlu diadakan kesempatan untuk berlatih menggunakan secara utuh pula di dalam konteks lapangan yang aktual, dengan bimbingan yang sistematis yang dikenai sebagai supervisi klinis, yaitu bimbingan yang diberikan atas dasar kebutuhan aktual yang disadari calon guru, bukan semata-mata atas dasar kelebihtahuan pembimbing.

Pendapat ini mensyahkan supervisi klinis diilhami oleh praktek mikro teaching (untuk calon guru)-- yang menurut Bapadal (2003) selanjutnya supervisi klinis dipakai pula untuk satu diantara model supervisi pengajaran di sekolah melalui kegiatan KKG dan MPGMP, seperti yang tertuang dalam Permendiknas No 16 Tahun 2007) tentang Standar Kualifikasi Akademik dan kompetensi guru dalam proses pengembangan profesionalisme guru diarahkan untuk penguatan kompetensi guru berdasarkan standar kompetensi guru, (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional). Cara pengembangan profesi dapat dilakukan melalui (antara lain): forum MGMP, seminar/workshop, penerbitan majalah ilmiah, lesson study, pelatihan dan studi lanjut. Ini berarti pembahasan ini mengacu pada dua konteks supervisi klinis, yaitu supervisi klinis dalam konteks supervisi mikro yang sasarannya calon guru dan dosen pembimbing sebagai supervisor dan supervisi klinis dalam konteks pembinaan guru di sekolah, yang supervisornya adalah kepala sekolah dan pengawas.

Selanjutnya Bolla mengatakan bahawa aliran pengajaran mikro (microteaching) secara teknis bertolak dan asumsi bahwa keterampilan-keterampilan mengajar yang kompleks itu dapat dipreteli menjadi unsur-unsur keterampilan yang lebih kecil, yang masing-masing dapat dilatihkan secara jauh lebih efisien dan efektil, apabila dibandingkan dengan pendekatan latihan secara global saja, dengan melalui pengajaran mikro, pembentukan keterampilan dapat dilakukan secara sistimatik mulai dari pemahaman, observasi peragaannya, untuk kemudian diteruskan dengan latihan yang berjenjang yaitu latihan terbatas, latihan dengan bantuan teman sejawat (peer-teaching) dan latihan lapangan.

Latihan lapangan inipun juga bersifat berjenjang, mulai dari mengajar dengan pengawasan penuh, sampai dengan mengajar secara mandiri. Di dalam kegiatan pengalaman lapangan barulah para calon guru diberi kesempatan berimprovisasi dengan menggunakan perangkat keterampilan dasar yang mulai dikuasainya, analog dengan seniman yang berimpropisasi setelah ia akrab dengan media ekspresinya.

Pada prinsipnya pembentukan keterampilan keguruan telah dianggap tuntas pada para calon guru tidak diulang lagi, karena penerapan keterampilan-keterampilan yang dimaksud di dalam sesualu peristiwa belajar mengajar membutuhkan pengintegrasian yang unik di dalam perancangan, dan penyesuaian-penyesuaian yang transaksional di dalam pelaksanaannva. Dengan perkataan lain bahwa latihan-latihan pengajaran mikro yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa perangkat keterampilan mengajar yang utuh adalah hanya penjumlahan dari pada unsur-unsurnya, tapi hubungan dapat digambarkan seperti hubungan gerbong kereta api.

Apa yang dilakukan oleh seorang dokter senior terhadap calon dokter? Apa yang dilakukan oleh seorang pelatih tinju terhadap anak latihanya? Ya, dokter senior selalu membawa calonya ketika ia sedang melakukan praktek real, setelah beberapa kali melihat, maka calon diminta melakukan sendiri. Kalau pelatih tinju akan membawa anak asuhannya untuk sparing patner dengan beberapa orang agar memiliki banyak pengalaman, dimana setiap lawan (patner) akan memberikan pengalaman yang berbeda dalam suatu keterampilan yang sama.

Bagaimana melatih orang naik sepeda? Biasanya, pertama pelatih dan pelajar akan menaiki sepeda secara bersama-sama, setelah beberapa kali latihan, maka pelatih secara beransur akan dibiarkan pelajar berjalan sendiri dengan pengawasan yang ketat, lama kelamaan akan dibiarkan pelajar itu jatuh bangun lalu menganalisis sendiri data didiamati oleh pelatih dan sampai akhirnya semua keterampilan menaiki sepeda akan terlatih secara secara sempurna. Illustrasi diatas sangat berguna proses pengajaran mikro.

Mengapa harus ada pengajaran Mikro (Mickro Teaching). Apakah pekerjaan ini serumit menjadi seorang dokter, seberat menjadi petinju, atau semudah mengedara sepeda? Apa jawaban yang dapat diberikan. Saya ingin mengajak mengingat pengalaman orang menonton di bioskop setelah film usai, pertama: mereka selalu mengintergrasikan diri dengan peran/tokoh utama dari cerita, dan kedua bisa menceritakan kembali apa yang dilihatnya, ketiga bisa membuat intisari dan ke empat bisa menemukan tema cerita. Tapi, apakah seorang calon guru bisa seperti itu. Kalau bisa, berarti sebuah pelatihan sudah berhasil? atau sebaliknya.

Karena itu apakah pembimbing di FKIP atau pamong di sekolah atau kepala sekolah dan pengawas sudah dapat menjadi aktor atau tokoh sejati di dalam kelas, sehingga calon atau guru dapat mengikuti jejaknya dalam mengajar? Hal inilah yang harus dilatih baik bagi pembimbing, pamong dan kepala sekolah dan pengawas. Karena mickro teaching adalah sebuah proses yang dilakukan di lembaga penghasil guru, sebelum seseorang calon guru mengalami real teaching (makro teaching) di lapangan dalam kegiatan Pengalaman Praktek Lapangan (PPL). Dalam mikro teaching calon guru dipersiapkan secara teoritik dalam kelompoknya atau yang disebut dengan peer teaching, yaitu bersama teman-temannya yang juga belum berpengalaman dibawah asuhan atau bimbingan dosen yang telah memiliki kompetensi – dan telah mendapat pengakuan melalui kegiatan Akta IV.

Mikro teaching, di FKIP Univesitas Riau menjadi tanggung jawab setiap jurusan. Kegiatan ini mereka namakan dengan uji tampil. Setelah mereka lulus, baru boleh mengikuti PPL, yaitu praktek di sekolah-sekolah yang mereka minati dan mau menampung mereka selama 6 bulan (satu semester) atau 8 kali pertemuan. Bagaimanakah pelaksanaan mikro teaching secara teoritis? Hal itulah yang ingin dibicarakan.  Microteaching ini tiada lain suatu kegiatan latihan belajar mengajar dalam situasi laboratoris. Dalam kegiatan ini mahasiswa/siswa calon guru selama berlatih praktik mengajar, bentuk penampilan dan keterampilannya selalu dimonitor dan dalam keadaan terkontrol oleh para supervisor. Dengan demikian, proses tersebut dapat diatur menurut kebutuhan serta disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Semua ini dalam ukuran mikro atau mini. Oleh karena itu, microteaching sering diartikan sebagai "mengajar dalam bentuk yang mini"(Sardiman, 2006).

Sardiman (2006) menjelaskan bahwa microteaching sesungguhnya juga merupakan real teaching bagi calon guru tetapi dilatihkan dalam kelas laboratori bukan di depan real class room, sehingga kegiatan itu bukan lagi real class room teaching. Jadi microteaching dilakukan di dalam kelas laboratori, dalam wujudnya yang mikro dan dimaksudkan untuk melatih, membekali serta memperbaiki keterampilan mahasiswa/ siswa calon guru. Hal ini dilatihkan sebelum calon guru ini terjun ke dalam praktik mengajar dalam arti real class room teaching. Microteaching memiliki ciri-ciri pokokyakni: jumlah subjek belajar sedikit, berkisar 5-10 orang, waktu mengajar terbatas sekitar 10 menit, bahan yang dikontakkan terbatas, juga komponen mengajar yang dikembangkan terbatas. Dengan demikian, kalau dibandingkan antara microteaching dengan teaching.

Dengan demikian, dalam microteaching benar-benar serba mikro. Satu kelebihan microteaching itu dilengkapi dengan alat-alat laboratori (hardware) yang dapat mendeteksi kegiatan praktikan yang kemudian akan memberikan feed back atau umpan balik secaca objektif sehingga segera dapat melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan dan penguatan terhadap yang sudah baik. Dengan microteaching akan memberikan kepercayaan diri yang tinggi pada calon guru untuk menghadapi praktik mengajar (real teacing) yang sebenarnya di sekolah-sekolah di mana mereka ditempatkan. Di FKIP Universitas Riau, penempatan mahasiswa dalam praktik mengajar diatur oleh Unit Pelayanan Teknis (UPT) Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah di sekolah di dalam kota yang memberi izin mahasiswa prakyik dan bentuk yang kedua adalah sekolah di luar kota yang ditentukan oleh mahasiswa dan mendapat persetujuan sekolah. Pelaksanaan di dalam kota diatur berdasarkan bidang studi dan jumlah mahasiswa maksimal 20 orang, sedangkan sekolah di luar kota bidang studi, jumlah mahasiswa dan pembiayaannya diatur tersendiri oleh mahasiswa dan dosen pembimbing.

2. Supervisi Klinis (Clinical Supervision)

Menurut pendapat para ahli, ide supervisi klinis berasal dari praktek kedoktoran – hubungan antara dokter dengan pasien. Pasien diminta menyampaikan keluhannnya dan seterusnya terjadilah teransaksi pengobatan. Menurut Gunawan (1986), setelah keluhan disampaikan, pasien tidak pula menyampaikan jenis penyakit yang dideritainya, dan tidak pula menentukan jenis pengobahan dan obat yang harus diberikan oleh dokter kepadanya, sementara dokter sendiri tidak semerta-merta menybutkan penyakitnya kepada pasien, tapi pengobatan akan diberikan dokter setelah mendapat izin dari pasein dan disertai perjanjian berikutnya.

Bapedal (2004) membuat intisasi bahwa, supervisi klinis sebagai satu bentuk aplikasi praktis supervisi pengajaran, yang merupakan satu strategi yang sangat berguna dalam supervisi, sebagai pengembangan pengajaran guru. Supervisi klinis diperkenalkan dan dikembangkan oleh Morris L. Cogan, Robert Goidhammer, dan Richart Weller di Universitas Harvard. Pada mulanya supervisi klinis ini memang dirancang sebagai salah satu model atau pendekatan dalam melaksanakan supervisi pengajaran terhadap calon guru yang sedang berpraktik mengajar. Selanjutnya, digunakan sebagai satu model supervisi pengajaran.

Richard Willer (dalam Bolla, 1982) memberikan batasan supervisi klinis sebagai layayan yang memfokuskan pada perbaikan pengajaran dengan menjalankan siklus yang sistimatis sari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan pengajar sebenarnya dengan tujuan untuk modifikasi yang rasional.

Dalam melaksanakan supervisi klinis diperlukan iklim kerja yang baik. Faktor yang sangat menentukan keberhasilan supervisi klinis adalah kepercayaan guru bahwa tugas supervisor semata-mata untuk membantu guru mengembangkan pengajarannya. Upaya memperoleh kepercayaan dan guru memerlukan satu iklim kerja yang disebut dengan istilah kolegial. Di samping itu, untuk melaksanakan supervisi klinis diperlukan kesediaan supervisor dan guru untuk meluangkan waktu. Setiap pembinaan supervisi klinis akan memerlukan waktu relatif lama.

Bolla (1982) dalam bukunya menyebutkan bahwa supervisi klinis adalah:

a. bantuan yang diberikan kepada guru dalam memperbaiki dan meningkatkan keterampilan mengajarnya dan dapat dilaksanakan untuk kepentingan calon guru dalam pendidikan pra jabatan maupun dalam jabatan;
b. Supervisi klinis terdiri atas tahapan pendahuluan (pre conference), observasi mengajar dan pertemuan balikan;
c. Pendekatan yang dilakukan bersifat profesioanal dan humanistik;
d. Selain menguji kemampuan siswa juga menguji kemampuan pembimbing;
e. Harus dilakukan oleh lembaga yang kompeten. Bagaimanakan real kegiatan supervisi klinis dan prangkatnya? Akan dibicarakan tersendiri.

Karakteristik supervisi klinis diberikan oleh Bafadal (2004) sebagai berikut:

a. Supervisi klinis berlangsung dalam bentuk hubungan tatap muka antara supervisor dan guru.
b. Tujuan supervisi klinis adalah untuk pengembangan profesional guru;
c. Kegiatan supervisi klinis ditekankan pada aspek-aspek yang menjadi perhatian guru serta observasi kegiatan pengajaran di kelas;
d. Observasi harus dilakukan secara cermat dan mendetail;
e. Analisis terhadap hasil observasi harus dilakukan bersama antara supervisor dan guru, serta
f. Hubungan antara supervisor dan guru harus bersifat kolegial bukan otoritarian.

Proses supervisi klinis, perilaku supervisor terbentang dalam garis kontinum, yang meliputi:
  i. mendengarkan,
  ii. mengklarifikasi,
  iii. mendorong,
  iv. mempresentasikan,
  v. memecah masalah,
  vi. bernegosiasi,
  vii. mendemontrasikan,
  viii. memastikan,
  ix. standardiasi, dan
  x. menguatkan.

Supervisi klinis merupakan suatu proses, yang terdiri atas sejumlah tahapan yang berbentuk siklus. Banyak teoretisi memberikan deskripsi yang berbeda mengenai siklus supervisi klinis, namun secara umun langkah-langkah ini bisa disederhanakan menjadi tiga tahap. Bapedal(2004) menyebutkan ada bahwa tiga tahap atau aktivitas itu adalah:(1) tahap perencanaan (tahap pertemuan awal); (2) tahap observasi mengajar, dan (3) tahap evaluasi dan analisis (pertemuan balikan).

3. Tahap Supervisi Klinis

Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa ada tiga tahap dalam proses supervisi klinis, yaitu: (1) tahap perencanaan (tahap pertemuan awal); (2) tahap observasi mengajar, dan (3) tahap evaluasi dan analisis (pertemuan balikan). Berikut uraian masing-masing bagian yang dikutip dari Bolla (1982).

a. Tahap pertemuan pendahuluan

Dalam tahap ini supervisor dan guru bersama-sama membicarakun rencana tentang keterampilan yang akan diobservasi dan dicatat. Tahap ini memberikan kesempatan kepada guru dan supervisor untuk mengidentifikasi perhatian utama guru kemudian menterjemahkannya ke dalam bentuk tingkahaku yang dapat diamati.
Dibicarakan juga bentuk dan jenis data mengajar yang akan diobservasi dan dicatat selama pelajaran berlangsung. Suatu komunikasi yang efektif dan terbuka diperlukan dalam tahap ini guna mengikat supervisor dan guru sebagai partner diantara suasana kerja yang harmonis.

b. Tahap Pengamatan Mengajar

Pada tahap ini guru melatih tingkahlaku mengajar berdasarkan komponen keterampilan dasar mengajar yang telah disepakati dalam pertemuan pendahuluan. Dipihak lain supervisor mengamati dan mencatat atau merekam tingkah laku guru ketika mengajar, berdasarkan komponen keterampilan yang diminta oleh guru untuk direkam. Supervisor dapat juga mengadakan observasi dan mencatat tingkah laku siswa di kelas serta interaksi antara guru dan siswa.

c. Tahap pertemuan balikan

Sebelum pertemuan balikan dilaksanakan diharapkan supervisor mengadakan analisis pendahuluan tentang rekaman observasi ynng dibuat sebagai bahan dalam pembicaraan tahap ini. Dalam hal ini supervisor harus mengusahakan suatu data yang obyektif, menganalisis dan menginterpretasikan secara kooperatif bersama dengan guru tentang apa yang telah berlangsung dalam mengajar. Langkah langkah utama dalam tahap ini adalah:
a. Menanyakan perasaan guru secara umum atau kesan umum guru ketika ia mengajar serta memberi penguatan;
b. Mereviu tujuan pelajaran;
c. Mereviu target keterampilan serta perhatian utama guru;
d. Menanyakan perasaan guru tentang jalannya pelajaran berdasarkan target dan perhatian utamanya;
e. Menunjukkan serta mengkaji bersama guru hasil observsi (rekaman data) yang telah dibuat;
f. Menanyakan peraaaan guru setelah melihat rekaman data tersebut;
g. Menyimpulkan hasil dengan melihat apa yang sebenarnya merupakan keinginan atau target guru dan apa yang sebenarnya telah terjadi atau tercapai; dan
h. Menuntukan bersama-sama dan mendorong guru untuk merencanakan hal-hal yang perlu dilatih atau di memperhatikan pada kesempatan berikutnya.

4. Komponen Keterampilan Dasar Mengajar

Proses belajar mengajar di kelas bukan suatu yang sederhana,tetapi sangat kompleks. Banyak sekali faktor yang menentukan keberhasilan seseorang guru di depan kelas. Para ahli mengingatkan bahwa mengajar bukan seperti orang memasukkan uang ke bank. (Sehertian, 1994). Reimer (1987) mengutip Marchall Mcluhan mengatakan soalnya bukan apa yang anda lakukan, tetap bagaimana melakukannya. Berarti mengajar bukan masalah tujuan tercapai tetapi bagaimana proses mencapai tujuan itu. Karena mutu proses jauh lebih penting dari pencapaian tujuan, sebab tujuan bisa saja dicapai oleh guru dengan berbagai cara atau jalan pintas, namun apakah pengalaman belajar itu sudah sampai kepada siswa dan dapat bertahan lama dan dapat digunakannya untuk belajar lebih lanjut Karena itu Willes (1967) menekankan bahwa “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik, yang jelas sasaranya adalah proses.

Karena itu proses belajar mengajar di kelas memerlukan pengusaan keterampilan dasar kuat untuk mendukung seorang calon guru menjadi guru yang memiliki kepercayaan yang tinggi di muka kelas. Djamarah (2000) menyebutkan bahwa ada delapan keterampilan dasar mengajar, yaitu 1) Keterampilan memberi penguatan, 2) Keterampilan bertanya, 3) Keterampilan variasi, 4) Keterampilan menjelaskan, 5) membuka dan menutup pelajaran, 6) Keterampilan mengelola kelas, 7) Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil,dan 8) Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. Pembahasan tentang bagian ini dikutip dari uraian Imran, Ali (1995) dan Udin S. Winataputra. (2003).


4.1 Keterampilan Memberi Penguatan

Penguatan diberikan sebagai respon yang diberikan guru terhadap perilaku siswa yang baik, sehingga siswa terdorong untuk mengulangi atau meningkatkan perilaku yang lebih baik lagi. Penguatan diberikan dengan tujuan meningkatkan motivasi siswa dalam belajar, mengontrol dan memotivasi perilaku yang negatif, menumbuhkan rasa percaya diri, serta memelihara iklim kelas yang kondusif. Penguatan dapat dibagi menjadi penguatan verbal dan non-verbal. Penguatan verbal diberikan dalam bentuk kata-kata/kalimat pujian, sentuhan, kegiatan yang menyenangkan, serta benda atau simbol. Penguatan dapat juga diberikan dalam bentuk penguatan tak penuh, jika respon/perilaku siswa tidak sepenuhnya memenuhi harapan. Dalam memberikan penguatan harus diperhatikan prinsip-prinsip berikut.

a. Kehangatan dan keantusiasan,
b. Kebermaknaan,
c. Hindari respon negatif,
d. Penguatan harus bervariasi,
e. Sasaran penguatan harus jelas, dan
f. Penguatan harus diberikan segera setelah perilaku yang diharapkan muncul.

4.2 Keterampilan Bertanya
Bertanya ternyata tidak mudah, apalagi dikaitkan dengan fungsi guru di muka kelas. Karena bertanya bukan sebatas membuatnya tetapi menyangkut bagaimana ia dapat dijawab dengan tepat dan benar. karena itu guru perlu menguasai keterampilan bertanya dengan alasan:
a. guru cenderung mendominasi kelas dengan ceramah,
b. siswa belum terbiasa mengajukan pertanyaan,
c. siswa harus dilibatkan secara mental-intelektual secara maksimal, dan
d. adanya anggapan bahwa pertanyaan hanya berfungsi untuk menguji pemahaman siswa.
e.

Keterampilan bertanya sangat erat kaitan dengan pendekatan pembelajaran sebagai proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang bagaimana terjadinya suatu proses pembelajaran itu yang akan memperlihatkan siapa yang mendominasi kelas. Pendekatan pembelajaran terdapat dua jenis yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Pendekatan yang mana yang dipilih sangat berpengaruh terhadap keterampilan guru bertanya kepada siswa agar muncul pertanyaan yang baik sehingga berfungsi antara lain untuk:

a. mendorong siswa untuk berpikir,
b. meningkatkan keterlibatan siswa,
c. merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaan,
d. mendiagnosis kelemahan siswa,
e. memusatkan perhatian siswa pada satu masalah, dan
f. membantu siswa mengungkapkan pendapat dengan bahasa yang baik.
g.
Keterampilan bertanya dasar terdiri atas komponen-komponen:
a. pengajuan pertanyaan secara jelas dan singkat,
b. pemberian acuan,
c. pemusatan,
d. pemindahan giliran,penyebaran,
e. pemberian waktu berpikir, dan
f. pemberian tuntunan.

Keterampilan bertanya lanjut terdiri dari komponen:

a. pengubahan tuntutan kognitif dalam menjawab pertanyaan,
b. pengaturan urutan pertanyaan,
c. penggunaan pertanyaan pelacak, dan
d. peningkatan terjadinya interaksi.

Keterampilan bertanya lanjut terdiri atas komponen:
a. pengubahan tuntutan kognitif dalam menjawab pertanyaan,
b. pengaturan urutan pertanyaan,
c. penggunaan pertanyaan pelacak, dan
d. penigkatan terjadinya interaksi.
e.
Dalam menerapkan keterampilan bertanya dasar dan lanjut, guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

a. Kehangatan dan keantusiasan.
b. Menghindari kebiasaan mengulang pertanyaan sendiri, menjawab pertanyaan sendiri, mengajukan pertanyaan yang mengundang jawaban serempak, mengulangi jawaban siswa, mengajukan pertanyaan ganda, dan menunjuk siswa sebelum mengajukan pertanyaan
c. Waktu berpikir yang diberikan untuk pertanyaan tingkat lanjut lebih banyak dari yang diberikan untuk pertanyaan tingkat dasar
d. Susulah pertanyaan pokok dan nilai pertanyaan tersebut sesudah selesai mengajar.

4.3 Keterampilan Mengadakan Variasi

Variasi adalah keanekaan yang membuat sesuatu tidak monoton. Variasi di dalam kegiatan pembelajaran dapat menghilangkan kebosanan, meningkatkan minat dan keingintahuan siswa, melayani gaya belajar siswa yang beragam, serta meningkatkan kadar keaktifan siswa.

Komponen keterampilan mengadakan variasi dibagi menjadi 3 kelompok sebagai berikut.
a. Variasi dalam gaya mengajar yang meliputi variasi suara, pemusatan perhatian, kesenyapan, pergantian posisi guru, kontak pandang serta gerakan badan dan mimik.
b. Variasi pola interaksi dan kegiatan.
c. Variasi penggunaan alat bantu pengajaran yang meliputi alat/bahan yang dapat didengar, diihat, dan dimanipulasi.


Dalam mengadakan variasi, guru perlu mengingat prinsip-prinsip penggunaannya yang meliputi: kesesuaian, kewajaran, kelancaran dan kesinambungan, serta perencanaan bagi alat/bahan yang mmerlukan penataan kh usus.

4.4 Keterampilan Menjelaskan Variasi
Keterampilan menjelaskan sangat penting bagi guru karena sebagian besar percakapan guru yang mempunyai pengaruh terhadap pemahaman siswa adalah berupa penjelasan. Penguasaan keterampilan menjelaskan yang didemonstrasikan guru akan memungkinkan siswa memiliki pemahaman yang mantap tentang masalah yang dijelaskan, serta meningkatnya keterlibatan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Komponen keterampilan menjelaskan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Merencanakan materi penjelasan yang mencakup:
i. menganalisis masalah,
ii. menentukan hubungan, serta
iii. menggunakan hukum, rumus, dan generalisasi yang sesuai.
b. Menyajikan penjelasan, yang mencakup:
i. kejelasan, yaitu keterampilan yang erat kaitannya dengan penggunaan bahasa lisan,
ii. penggunaan contoh dan ilustrasi, yang bisa dilakukan dengan pola induktif atau deduktif,
iii. pemberian tekanan yang dapat dilakukan dengan berbagai variasi gaya mengajar, dan membuat struktur sajian, dan
iv. balikan, yang bertujuan untuk mendapat informasi tentang tingkat pemahaman siswa, baik melalui pertanyaan mapun melalui tugas.

Penjelasan dapat diberikan pada awal, tengah, dan akhir pelajaran, dengan selalu memperhatikan karakteristik siswa yang diberi penjelasan serta materi/ masalah yang dijelaskan.

4.5 Keterampilan Membuka dan Menutup Pembelajaran

Keterampilan membuka pelajaran adalah jenis keterampilan yang awal yang harus dikuasai oleh guru, oleh karena keterampilan membuka pelajaran pertama kali diterapkan oleh guru pada awal pelajaran akan memberikan kesan tersendiri oleh siswa. Keterampilan membuka pelajaran dimaksudkan mengkondisikan siswa agar siap mental sebelum pelajaran berlangsung. Tidak itu saja, keterampilan membuka pelajaran dimaksudkan juga untuk menimbulkan perhatian dan memusatkan perhatian siswa terhadap hal-hal yang dipelajarinya. siswa yang siap mental memasuki pelajaran, adalah siswa yang telah mengetahui tujuan pengajaran dengan jelas, mengetahui masalah-masalah yang harus diperhatikan dan mengetahui langkah-langkah serta batas-batas tugas yang harus dikerjakan.

Adapun empat komponen keterampilan membuka pelajaran, yaitu:

a. Menarik perhatian siswa. Perhatian siswa pertama-tama harus ditimbulkan, karena dengan memperhatikan terlebih dahulu terhadap hal-hal yang akan diajarkan, adalah suatu permulaan yang baik bagi suatu pengajaran. Ada banyak cara yang dapat ditempuh oleh guru dalam menarik perhatikan siswa ini, yaitu: melalui gaya mengajar, menggunakan alat-alat bantu mengajar yang bervariasi atau dengan pola interaksi
b. Menimbulkan motivasi. Mengapa motivasi ini perlu ditim bulkan? Karena hasil belajar siswa antara lain ditentukan oleh seberapa besar motivasinya. Ada banyak cara yang dapat dipergunakan guna menimbulkan motivasi ini. Cara- cara tersebut antara lain adalah: adanya kehangatan dan keantusiasan mengajar, menimbulkan rasa ingin tahu siswa, mengemukakan ide-ide kontroversial, mengajukan masalah yang bertentangan dengan keadaan sehari-hari dan memperhatikan serta berusaha memenuhi minat siswa.

c. Memberikan acuan. Yang dimaksudkan dengan memberikan acuan adalah suatu usaha menemukakan secara spesifik dan singkat agar siswa mendapatkan gambaran serba singkat tetapi jelas mengenai sesuatu hal yang akan dipelajari.

d. Membuat kaitan. Ketika guru akan membuka pelajaran, guru terlebih dahulu menghubungkan sesuatu yang akan disajikan dengan sesuatu yang telah diketahui oleh siswa pada masa-masa sebelumnya. Mengapa kaitan ini perlu dibuat tak lain adalah sesuatu yang akan dipelajari tidak dipandang terputus dengan bahasan-bahasan sebelumnya. Pemahaman siswa atas pengetahuan sebelumnya (prasyarat) bahkan juga akan membantu siswa terhadap upaya pemahaman terhadap materi berikutnya.

Sementara itu, keterampilan menutup pelajaran dimaksudkan agar siswa mendapatkan kembali materi-materi pokok atau rangkuman dari keseluruhan yang sudah disajikan.
Beberapa komponen keterampilan menutup pelajaran adalah sebagai berikut:
a. Meninjau kembali. Meninjau kembali atas kegiatan-kegiatan pengajaran yang telah dilakukan dan materi-materi pelajaran yang telah diberikan sangat besar artinya bagi pemahaman menyeluruh siswa atas apa yang mereka dapatkan. Peninjauan kembali dapat dilakukan dengan cara: menyampaikan pokok-pokok pikiran, merangkum inti bahasan dan atau membuat ringkasan.
b. Mengevaluasi. Evaluasi lazim dilakukan setelah kegiatan belajar mengajar berakhir, atau hendak ditutup. Evaluasi dilakukan dengan maksud agar mengetahui seberapa tujuan pengajaran yang dirumuskan telah tercapai. Evaluasi dapat dilakukan secara lisan, dan dapat dilakukan secara tertulis. Evaluasi dapat dilakukan dengan menuntut siswa mendemonstrasikan sesuatu yang telah diperoleh, mengaplikasikan perolehannya dalam situasi riil, atau mengemukakan pendapat dengan menggunakan kata-kata sendiri.

4.6 Keterampilan Mengelola Kelas

Pengelolaan kelas adalah bagaimana penciptaan suatu siatusi dan kondisi yang memungkinkan belajar siswa menjadi optimal. Keterampilan mengelola kelas patut dikuasai guru, karena hanya dengan pengelolaan kelas yang baiklah akan tercipta suatu kondisi yang memungkinkan siswa belajar dengan baik. Ada dua jenis keterampilanpengelolaan kelas. Pertama, keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan kondisi belajar yang optimal, dan kedua, keterampilan yang berhubungan dengan pengembalian kondisi belajar yang optimal.

4.6.1 Penciptaan Kondisi Belajar Optimal

Keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan kondisi belajar yang optimal meliputi hal-hal sebagai berikut:
i. Menunjukkan sikap tanggap. Tanggap terhadap berbagai hal yang terjadi di dalam kelas, terutama terhadap perilaku siswa bisa menjadikan siswa terkondisi belajarnya. Misalnya saja, terhadap siswa yang memperhatikan, terhadap siswa yang tidak memperhatikan, terhadap siswa yang acuh tak acuh dan terhadap siswa yang mengerjakan atau tidak mengerjakan tugas, guru harus tahu dan senantiasamenanggapi mereka. Responsi guru yang tanggap terhadap berbagai persoalan dalam bentuk teguran, dalam bentuk pengharapan sangat penting bagi penciptaan kondisi belajar yang optimal.

ii. Membagi perhatian. Perhatian guru, baik yang berupa verbal maupun yang berupa visual, haruslah dapat diberikan kepada siswa secara merata. Jangan sampai ada siswa yang terlalu banyak diperhatikan sementara yang lain merasa kurang perhatian. Kecemburuan siswa atas perhatian guru yang tak seimbang dapat mengganggu penciptaan kondisi belajar yang optimal.

iii. Memusatkan perhatian kelompok. Perhatian hendaknya tidak sekadar diberikan kepada siswa secara individual.Bila pengajaran di kelas menggunakan kelompok-kelompok kecil, maka perhatianpun harus diberikan kepada kelompok juga. Oleh karena itu, siswa dapat dituntut bertanggung jawab secara individual kepada kelompoknya, dan secara kelompok mereka dapat diminta mempertanggungjawabkan pekerjaan atau tugasnya.

iv. Memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas. Petunjuk yang diberikan oleh guru terhadap siswa amat penting bagi siswa. Oleh karena itu, dalam memberikan petunjuk hendaknya sejelas mungkin meskipun singkat. Bahasa yang dipergunakan hendaknya yang dapat dicerna oleh siswa. Aspek-aspek yang menjadi substansi petunjuk gurudapat meliputi: aspek-aspek pengajaran, suatu kegiatan tertentu atau tingkah laku tertentu

v. Menegur. Teguran harus diberikan oleh guru manakala ada di antara siswa yang mengganggu kelas, kelompok atau individu siswa. Hendaknya teguran diberikan secara hati- hati, karena penggunaan kata-kata kasar dan menyakitkan bertentangan dengan misi pendidikan.Teguran hendaknya hariya diberikan kepada siswa yang bersalah, yang mengganggu, dan jangan sampai tertuju kepada mereka yang tidak berbuat salah dan tidak turut mengganggu. Meskipun demikian, teguran hendaknya mempunyai dampak positip juga kepada siswa-siswa lainnya.

vi. Memberikan penguatan. Penguatan dapat juga berfungsi sebagai pencipta kondisi belajar siswa secara optimal, mana kala dapat diberikan secara tepat. Pada siswa-siswa yang mengganggu, dapat diganjar dalam bentuk, misalnya saja ditangkap dan kemudian ditunjukkan kepada teman- temannya se kelas. Demikian juga siswa yang misalkan saja, berprestasi baik, dapat ditangkap dan ditunjukkan kepada kelas sebagai sebuah keteladanan.

4.6.2. Pengembalian Kondisi Belajar Optimal
Keterampilan mengelola kelas yang berhubungan dengan pengembalian kondisi agar siswa belajar secara optimal meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Memodifikasi perilaku siswa. Perilaku menyimpang dan atau bermasalah siswa dapat dimodifikasi ke arah yang baik manakala guru mau menganalisisnya terlebih dahulu. Jangan sampai tidak tahu latar belakang terjadinya penyipangan, guru langsung mengubahnya. Oleh karena itu, sebelum mengubah tingkah laku demikian, guru harus menempuh langkah-langkah sebagai berikut:
i. Merinci secara tepat tingkah laku yang menimbulkan masalah atau tingkah laku menyimpang siswa.
ii. Menentukan norma dan standar yang realistik terhadaptingkah laku yang menjadi tujuan pendidikan.
iii. Bekerja sama dengan rekan sekerja, orang tua dan konselor guna mencatat perilaku-perilaku bermasalah atau menyimpang siswa.
iv. Memilih perilaku yang akan diperbaiki setelah mempertimbangkan bahwa tingkah laku tersebut memang dapat diperbaiki.
v. Mempergunakan berbagai macam cara guna mengubah perilaku siswa
vi. Memberikan penguatan terhadap perilaku yang diinginkan.
b. Pengelolaan kelompok. Guna memecahkan masalah-masalah pengelolaan kelas, guru dapat mempergunakan pendekatan pemecahan masalah kelompok. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru dalam pengelolaan kelompok adalah sebagai berikut:
i. Memperlancar tugas dengan mengusahakan kerja sama
ii. Menetapkan standar dan mengkoordinasikan prosedur kerja.
iii. Memperbaikikondisidalamsistem dengan menggunakan pemecahan masalah melalui diskusi.
iv. Menganalisis dan mempergunakan saran-saran siswa.
v. Mengubah kelas ke arah yang lebih baik dan menyenangkan.
vi. Memelihara kegiatan-kegiatan kelompok dengan cara:memelihara dan mengembalikan semangat siswa,memahami konflik yang timbul dan meminimalkan masalah-masalah pengelolaan.

c. Menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah. Masalah beserta gejala masalah yang muncul di kelas hendaknya diupayakan dapat ditemukan oleh guru. Selanjutnya, masalah tersebut hendaknya dapat dipecahkan. Setelah terpecahkan, guru harus berusaha agar tidak lagi muncul masalah baru di dalam kelas, baik sebagai akibat dari pemecahan masalah sebelumnya atau bukan akibat masalah sebelumnya (masalah baru).

4.7 Keterampilan Membimbing Diskusi Kelompok Kecil

Diskusi adalah suatu percakapan atau pembicaraan antara dua orang atau lebih. Diskusi kelompok kecil adalah suatu percakapan atau pembicaraan yang berlangsung dalam kelompok kecil: 5-9 orang. Pembicaraan dan atau percakapan tersebut dengan menggunakan interaksi secara bebas dan langsung, dengan tujuan tertentu yang jelas dan berlangsung secara teratur, sistematis dan menghasilkan suatu kesimpulan tertentu. Ada beberapa komponen keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.

Komponen-komponen tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Memusatkan perhatian
b. Memperjelas masalah atau urunan pendapat
c. Menganalisis pandangan siswa
d. Meningkatkan kontribusi pikiran siswa
e. Menyebarkan kesempatan berpartisipasi
f. Menutup diskusi.

a. Memusatkan Perhatian
Ketika diskusi sedang berlangsung, banyak pembicaraan yang dikemukakan oleh masing-masing peserta. Ada kalanya mereka yang terlibat dalam pembicaraan tersebut, mengemuka-kan pendapat yang berbeda-beda dan dengan uraian-uraian yang kadangkala panjang. Jika ini dibiarkan terus, siswa yang menjadi peserta diskusi, adakalanya tidak dapat menggenera-lisasi pendapat-pendapat, ide-ide dan gagasan-gagasan yang banyak ragamnya. Tidak jarang siswa juga mengalami kesulitan dalam menangkap ide pokoknya, sehingga ia justru mengambil ide tambahannya.

Agar perhatian siswa terpusat, maka sebelum diskusi dimulai, hendaknya dirumuskan dahulu target yang hendak dicapai. Selanjutnya, diperkenalkan topik atau tema diskusi baik dengan menggunakan kalimat pernyataan maupun dengan kalimat tanya. Dengan mengemukakan tujuan dan topik atau tema, maka peserta diskusi dapat mengarahkan keseluruhan pembicaraan dalam kerangka tema atau topik tersebut.

Dalam pembicaraan, tidak jarang peserta diskusi mengemukakan sesuatu yang menyimpang dari topik. Jika hal demikian terjadi, maka topik, tema dan masalah yang akan dibicarakan dalam diskusi dapat dinyatakan kembali. Menyatakan kembali masalah, topik dan tema demikian, dapat menggiring kembali pembicaraan peserta diskusi agar tidak mengalami penyimpangan.

Dalam rangka mencegah terjadinya penyimpangan demikian, perlu diperhatikan berbagai hal yang menjadikan penyebab terjadinya penyimpangan. Selanjutnya, harus dibuat rangkuman hasil diskusi pada suatu tahapan tertentu, sebelum dilanjutkan dengan pembicaraan yang lain. Rangkuman hasil diskusi ini harus dibuat, agar tidak terlupakan setelah peserta diskusi sudah beralih ke masalah, topik atau tema lainnya. Dengan adanya rangkuman demikian, peserta diskusi sekaligus tahu seberapa target yang ditentukan telah tercapai.

b. Memperjelas Masalah atau Urunan Pendapat
Seringkali peserta diskusi memunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu gagasan yang diajukan oleh seorang peserta lainnya. Hal demikian disebabkan oleh tidak atau kurang jelasnya statemen-statemen yang dipergunakan oleh peserta yang mengajukan gagasan tersebut. Oleh karena itu, terhadap gagasan, masalah dan atau pikiran-pikiran yang kurang jelas demikian ini, pemimpin diskusi hendaknya memperjelasnya. Hanya dengan cara demikianlah maka peserta diskusi dapat menangkap pembicaraan persis sebagaimana yang dikehendaki oleh penyampai gagasan.
Memperjelas masalah atau urunan pendapat peserta diskusi dapat dilakukan dengan: menguraikan kembali gagasan penyimpan ide, mepertanyakan kepada peserta diskusi lain apakah mereka sudah mengerti apa yang dimaksudkan, meminta komentar anggota diskusi dengan mengajukan pertanyaan yang membantu memperjelas ide dan menguraikan gagasan siswa dengan memberikan informasi tambahan atau contoh kongkret.

c. Menganalisis Pandangan Siswa
Dalam diskusi, tidak jarang antara siswa satu dengan siswa yang lain mempunyai pandangan yang berbeda-beda, meskipun masalah yang didiskusikan mungkin sama. Hal demikian tidak perlu dirisaukan oleh guru, oleh karena perbedaan pendapat di antara siswa adalah suatu keniscayaan.

Yang patut diperhatikan oleh siswa yang lain dan oleh guru adalah: Mengapa perbedaan pendapat demikian dapat terjadi? Apakah alasan-alasan yang dikemukakan oleh siswa tersebut mempunyai dasar yang kuat? Apakah dalam mengemukakan pendapat tersebut, siswa mendasarkan pada referensi tertentu? Apakah alasan-alasan yang dikemukakan memang rasional? Pada hal apa saja pendapat tersebut dapat disepakati dan pada hal apa saja tidak dapat disepakati? Di sinilah guru perlu menganalisis.

d. Meningkatkan Kontribusi Pikiran Siswa
Dalam diskusi kelompok kecil, para siswa dapat secara bebas menyampaikan, menyumbangkan atau memberikan kontribusi pikiran kepada kelompoknya. Hanya saja, tidak selalu setiap anggota kelompok mau menyumbangkan pikiran-pikirannya kepada kelompok. Tidak jarang, seorang anggota kelompok diam saja sejak awal diskusi sampai dengan akhir diskusi. Oleh karena itulah peranan pemimpin diskusi dan atau guru dalam diskusi kelompok kecil demikian ini sangat penting artinya. Guru dapat mengaktifkan seluruh anggota diskusi agar mereka secara merata dapat memberikan kontribusi pikiran ketika diskusi sedang berlangsung.

Kontribusi pikiran siswa dapat ditingkatkan dalam interaksi diskusi dengan cara-cara antara lain sebagai berikut:

i. Mengajukan pertanyaan yang dapat merangsang para siswa untuk berpikir.
ii. Menghidupkan suasana diskusi.
iii. Memberi kesempatan kepada para siswa untuk memikirkan jawaban yang akan diajukan sebelum yang bersangkutan benar-benar siap memberikan jawaban.
iv. Mengukuhkan kontribusi pikiran siswa dengan jalan memperhatikan, memberi penguat positif, serta mendukung terhadap pikiran-pikiran siswa yang benar.
v. Memancing siswa yang diam saja agar mau berbicara.


e Memeratakan Kesempatan Berpartisipasi

Sebagaimana disebutkan di atas, tidak jarang diskusi hanya dimonopoli oleh siswa-siswa tertentu yang suka berbicara. Dalam hal demikian, guru atau pemimpin diskusi harus dapat mengkondisikan agar siswa yang tidak suka berbicara mau dan bersedia berbicara.

Beberapa cara yang dapat ditempuh oleh guru adalah sebagai berikut:
i. Mencegah searif mungkin terhadap siswa yang suka memonopoli pembicaraan.
ii. Memberikan kesempatan kepada siswa yang tidak mau berbicara untuk menyampaikan pendapatnya sendiri, mengomentari pendapat temannya, mengecek terhadap berbagai hal yang ada dalam buku teks dan meminta untuk menyampaikan kepada kelompok atau kelas.
iii. Menggilir pembicaraan siswa sehingga tidak berbicara bersamaan.
iv. Memberikan re.sponsi penguat kepada siswa yang tak suka berbicara tetapikelihatan menyampaikan urunan pikirannya.


F. Menutup Diskusi
Mengapa diskusi perlu ditutup? Tak lain agar siswa tahu bahwa diskusi memang sudah selesai. Sebagai pertanda bahwa diskusi tersebut selesai adalah telah dicapainya target diskusi. Target diskusi tersebut berupa kesimpulan yang sesuai dengan tujuan diskusi.
Oleh karena itu, diskusi kelompok kecil mi dapat ditutup dengan: membuat rangkuman, ringkasan, menemukan kata-kata kunci, mengajak siswa menilai proses dan hasil diskusi dan sebagainya.

4.8 Keterampilan Mengajar Perorangan

Keterampilan mengajar perseorangan adalah suatu keterampilan guru dalam mengajar terhadap siswa satu demi satu. Oleh karena siswa diajar satu demi satu, maka siswa yang cepat dapat menyelesaikan pelajarannya dengan cepat dan sebaliknya siswa yang lambat, akan menyelesaikan pelajarannya secara lambat juga. Dengan perkataan lain, siswa dapat berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya.

Pengajaran perorangan memang berangkat dari kebutuhan dan bermaksud melayani segi individualitas siswa. Hal ini berarti kebalikan dari pengajaran sistem klasikal, yang lebih mengaksentuasikan pada segi-segi kesamaan siswa. Pengajaran klasikal bermaksud melayani kesamaan-kesamaan yang dipunyai oleh siswa, dan tidak banyak menyentuh segi individual! tasnya.

Ada 5 komponen keterampilan pengajaran perseorangan, yaitu:
i. Keterampilan merencanakan pengajaran.
ii. Keterampilan melaksanakan pengajaran.
iii. Keterampilan mengorganisasi pengajaran.
iv. Keterampilan melaksanakan hubungan pribadi.
v. Keterampilan membimbing siswa.

a. Keterampilan Merencanakan Pengajaran
Sebuah pengajaran (termasuk pengajaran perseorangan) yang tanpa direncanakan terlebih dahulu, akan membawa guru pada keadaan cerita apa saja sesuai dengan apa yang kebetulan berada di kepalanya. Seandainya di kepalanya sedang lewat hantu, maka hantu itulah yang menjadi cerita pengajaran. Seandainya yang lewat di kepala guru tersebut adalah setan, maka setan itulah yang menjadi inti cerita pengajaran. Dus, pengajaran demikian, tidak mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Oleh karena itu, perencanaan pengajaran amat penting artinya dalam rangka mencapai tujuan pengajaran.

Pada saat guru membuat perencanaan pengajaran perorangan, ia harus tahu karakteristik siswa yang akan diajar. Karakteristik siswa tersebut meliputi: karakteristik psikologisnya, karakteristik kognitifnya, karakteristik pribadinya yang lain dan sebagainya. Singkatnya, apa yang telah ada pada diri siswa dapat dijadikan sebagai landasan berpijak dalam rangka penyusunan rencana pengajaran.
Keterampilan merencanakan pengajaran perorangan meliputi hal-hal sebagai berikut:
i. Menetapkan tujuan pengajaran perorangan.
ii. Menetapkan alat evaluasi pengajaran perorangan yang akan dipergunakan.
iii. Menetapkan kegiatan belajar mengajar.
iv. Menetapkan metode yang dipergunakan.

b. Keterampilan Melaksanakan Pengajaran

Rencana pengajaran yang telah ditetapkan haruslah diaplikasikan oleh guru secara luwes, dengan mem-pertimbangkan faktor kondisional dan situasional siswa. Dalam melaksanakan pengajaran ini, guru melaksanakan berbagai macam jenis kegiatan yang dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan.
Strategi dan siasat belajar mengajar yang memungkinkan siswa dapat menampilkan performansi sebagaimana yang dikehendaki haruslah dapat dilakukan. Metode yang dipergunakan hendaknya cocok juga dengan target yang hendak dicapai dalam pengajaran,

c. Keterampilan Mengorganisasi Pengajaran
Pengorganisasian pengajaran dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam orientasi. Ada pengorganisasian pengajaran yang menggunakan buku teks, dan ada pengorganisasian pengajaran yang menggunakan paket-paket belajar seperti modul, hand out dan sebagainya. Pengorganisasian pengajaran dilakukan sejak awal pengajaran sampai akhir pengajaran.

Beberapa keterampilan mengorganisasikan pengajaran adalah sebagai berikut:
i. Memperkenalkan tujuan umum pengajaran, tujuan khususpengajaran, kegiatan-kegiatan pengajaran yang akan dilakukan, tugas yang akan dikerjakan, masalah yang akan dipecahkan kepada siswa pada awal pelajaran.
ii. Membagi-bagi peran, baik antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa.
iii. Mengkoordinasikan peran-peran yang telah dibagi, sehingga menjadi satu kesatuan utuh yang memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan pengajaran.
iv. Mengakhiri kegiatan pengajaran, dengan suatu target tertentu, sehingga terdapat perubahan tingkahlaku pada diri siswa.

d. Keterampilan Melaksanakan Hubungan Pribadi
Dalam pengajaran perorangan, interaksi antara guru dengan siswa sangat tinggi; berbeda denganpengajaran klasikal. Dengan demikian, tingkat keakraban antara guru dengan siswa juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pengajaran klasikal. Di sinilah keefektifan dan atau kelebihan pengajaran individual ini dibandingkan dengan pengajaran klasikal. Oleh karena itu, guru harus dapat membangun keakraban dengan siswa dengan berbagai macam cara, antara lain sebagai berikut:
i. Berusaha saling terbuka, sebagai langkah awal bagi saling percaya.
ii. Mendengarkan segala pembicaraan siswa dengan penuh perhatian.
iii. Menunjukkan kepada siswa bahwa ia bersedia membantu secara tulus terhadap apa yang dibutuhkan oleh siswa
iv. Memberikan jaminan kepada siswa, bahwa segala hal yang ia ceritakan kepada guru, ridak akan berpengaruh pada kapasitas pribadinya sebagai seorang siswa.

e. Keterampilan Membimbing Siswa

Selain sebagai pengajar, guru sekaligus sebagai pembimbing. Lebih-lebih dalam pengajaran perorangan, peran sebagai pembimbing sangat menonjol pada diri guru. Dengan bimbingan yang terus menerus demikian, diharapkan siswa terus-menerus dapat diajak untuk lebih maju. Bimbingan terus-menerus demikian sangat diperlukan terutama pada hal-hal yang oleh siswa dipandang sulit. Rasa frustasi, sebagai akibat dari tidak mudahnya mencapai sesuatu, sedikit banyak dapat ditekan.
Guna keberhasilan bimbingan secara perorangan ini, guru harus paham dengan karakteristik dan tempramen siswa. Hanya dengan cara demikian, ia dapat mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan kepelbagaian siswa. Haruslah disadari, bahwa rumus yang dipakai untuk membimbing siswa yang satu, tidak dapat begitu saja dipandang cocok untuk siswa yang lain. Masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa sendiri, pada dasarnya juga berbeda dengan yang dihadapi oleh orang lain.

C. RANGKUMAN
1. Supervisi klinis pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan olehh Morris L Logan. Robert Goldha,,er, dan Richart Weller di Universitas Harvard pada akhir dasawarsa lima puluhan dan awal dasawarna enam puluhan.
2. Supervisi klinis adalah proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata dengan tingkah laku mengajar yang ideal dan taat asas terhadap isi mata pelalajaran yang diajarkannya.
3. Pengajaran Mikro (Mickro Teaching) dan Supervisi Klinis (Clinical Supervision), adalah dua istilah setali dua uang, karena supervisi klinis berada di dalam konteks pengajaran mikro (microteaching) itu sendiri.
4. Aliran pengajaran mikro (microteaching) secara teknis bertolak dan asumsi bahwa keterampilan-keterampilan mengajar yang kompleks itu dapat dipreteli menjadi unsur-unsur keterampilan yang lebih kecil,
5. Melalui pengajaran mikro, pembentukan keterampilan dapat dilakukan secara sistimatik mulai dari pemahaman, observasi peragaannya, untuk kemudian diteruskan dengan latihan yang berjenjang yaitu latihan terbatas, latihan dengan bantuan teman sejawat (peer-teaching) dan latihan lapangan.
6. Pada prinsipnya pembentukan keterampilan keguruan telah dianggap tuntas pada para calon guru tidak diulang lagi, karena penerapan keterampilan-keterampilan yang dimaksud di dalam sesualu peristiwa belajar mengajar membutuhkan pengintegrasian yang unik di dalam perancangan, dan penyesuaian-penyesuaian yang transaksional di dalam pelaksanaannva.
7 Guru memang harus menjadi aktor atau tokoh sejati di dalam kelas, agar siswanya menjadi penonton yang dapat menyerap semua pengalaman atau pesan (materi pelajaran) yang disampaikan.
8. Mickro teaching adalah suatu proses yang dilakukan di lembaga penghasil guru, sebelum seseorang calon guru mengalami real teaching (makro teaching) di lapangan dalam kegiatan Pengalaman Praktek Lapangan (PPL).
9. Dalam mikro teaching calon guru dipersiapkan secara teoritik dalam kelompoknya atau yang disebut dengan peer teaching, yaitu bersama teman-temannya yang juga belum berpengalaman dibawah asuhan atau bimbingan dosen yang telah memiliki kompetensi – yang telah mendapat pengakuan melalui kegiatan Akta IV.
10. Microteaching ini tiada lain suatu kegiatan latihan belajar mengajar dalam situasi laboratoris. Dalam kegiatan ini mahasiswa/siswa calon guru selama berlatih praktik mengajar, bentuk penampilan dan keterampilannya selalu dimonitor dan dalam keadaan terkontrol oleh para supervisor.
11. Microteaching memiliki ciri-ciri pokokyakni: jumlah subjek belajar sedikit, berkisar 5-10 orang, waktu mengajar terbatas sekitar 10 menit, bahan yang dikontakkan terbatas, juga komponen mengajar yang dikembangkan terbatas. Dengan demikian, kalau dibandingkan antara microteaching dengan teaching.
12. Supervisi Klinis (Clinical Supervision) berasal dari praktek kedoktoran, antara dokter dengan pasien. Di mana pasien diminta menyampaikan keluhannnya.
13. Supervisi klinis sebagai satu bentuk aplikasi praktis supervisi pengajaran, yang merupakan satu strategi yang sangat berguna dalam supervisi, sebagai pengembangan pengajaran guru.
14. Supervisi klinis yang memfokuskan pada perbaikan pengajaran dengan menjalankan siklus yang sistimatis sari tahap perencanaan, pengamatan, dan analisis intelektual yang intensif terhadap penampilan pengajar sebenarnya dengan tujuan untuk modifikasi yang rasional.
15. Supervisi klinis merupakan suatu proses, yang terdiri dan sejumlah tahapan yang berbentuk siklus yaitu:(1) tahap perencanaan (tahap pertemuan awal); (2) tahap observasi mengajar, dan (3) tahap evaluasi dan analisis (pertemuan balikan).
16. Prosedur supervisi klinis ada tiga tahap atau aktivitas dalam proses supervisi klinis, yaitu: (1) tahap perencanaan (tahap pertemuan awal); (2) tahap observasi mengajar, dan (3) tahap evaluasi dan analisis (pertemuan balikan).
17. Komponen keterampilan dasar mengajar ada delapan keterampilan dasar mengajar, yaitu 1) Keterampilan memberi penguatan, 2) Keterampilan bertanya, 3) Keterampilan variasi, 4) Keterampilan menjelaskan, 5) membuka dan menutup pelajaran, 6) Keterampilan mengelola kelas, 7) Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, dan 8) Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan.

D. TUGAS

Simulasi supervisi klinis dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membentuk kelompok dengan anggota antara 5 dan 10 orang;
2. Tetapkan peranan masing-masing anggota; yaitu sebagai guru, siswa dan supervisor;
3. Tetapkan mata pelajaran, dan gunakan RPP;
4. Buatlah kontrak kerja supervisi klinis dengan format yang baku;
4.1  Tahap pertemuan pendahuluan,
4.2 Tahap pengamatani,gunakan IPG2 dan,
4.3 Tahap pertemuan balikan (tidak lanjut);

DAFTAR PUSTAKA

Alexander Mackie College of Advance Education (1981). Supervision Of Practice Teaching, Primary, Sydney, Australia
Ahmad, Said Suhil. (2003). Model Pelatihan Profesional Guru, Makalah disampaikan pada Rapat Lintas Sektoral Bidang Pendidikan, 4 Januari 2003 di Pekanbaru
Bapadal, Ibrahim. (2003). Peningkatan Prifesionalisme Guru Sekolah Dasar. JakartaL Bumi Aksara.
Bolla. J.I. (1982). Supervisi Klinis. Jakarta: Depdiknas.
Darmansyah. (2007). Menciptakan Pembelajaran yang Mengenangkan Melalui Optimalisasi Jeda Stategis dengan Karikatur Hunor dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal Teknodik Pustekkom.go.id
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie. 2001. Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Penerbit KAIFA.
Dryden, Gordon dan Jeanette Vos. 1999. The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns. Selandia Baru: The Learning Web.
Gunawan, Ary. (1996). Administrasi Sekolah|: Administgrasi Pendidikan Makro. Jakarta: Reneka Cipta
Hamalik, Oemar. (1975). Praktek Keguruan. Bandung Tarsito.
Imran, Ali. (1995). Pembinaan Guru Indonesia. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Paterson Kathy. (2007). 55 Teaching Problemas. (Terjemahan Frans Kiworo). Jakarta, Grasindo.
Reimer, Everett. (1987). Sekitar ektensi Sekolah. Terjemahan Sarino Mangunpranoto. Yokyakarta: PT. Manindita
Rifai, Mohd. (1982). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Jemmars.
Sidi, Indra Djati. (2001). Menuju Masyakarat Belajar. Jakarta: Paramadia.
Sadiman. (2006). Interaksi dan Motivasi Belajat Mengajar. Jakarta: TP. Rajawali Grafiondo Persada
Supriadi, Dedi. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Edisi kedua. Yokyakarta: Mitra Gama Widyaa.
Undang-Undang RI Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru,
Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan.
Wiles. Kimball.(1956). Supervision for Better School. New Jersey. Printice Hall inc, Engdewood Ciffs.
Udin S. Winataputra. (2003). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.